Assalamu Alaikum Wr.Wb. SELAMAT DATANG KEPADA SELURUH PEJUANG SYARI'AH & KHILAFAH ........

Jumat, 31 Desember 2010

Selamatkan Indonesia Dengan Syariah Menuju Indonesia Lebih Baik (Refleksi Akhir Tahun 2010 Hizbut Tahrir Indonesia)

[Al Islam 537] TAHUN 2010 segera berakhir. Fajar tahun baru 2011 segera hadir. Sepanjang tahun 2010 banyak peristiwa ekonomi, politik, sosial, budaya dan sebagainya yang telah terjadi. Terkait sejumlah peristiwa tersebut, Hizbut Tahrir Indonesia memberikan catatan sebagai berikut:
1. Demokrasi: Sistem Cacat, Menindas Rakyat.
Demokrasi di Indonesia-sekalipun mendapatkan pujian dalam Bali Democracy Forum (10/12/2010)-tidaklah memiliki wujud nyata di tengah masyarakat. Sepanjang tahun 2010, banyak tragedi yang menunjukkan dengan jelas kecacatan sistem ini. Yang paling menonjol, Indonesia dengan demokrasinya telah menempatkan diri sebagai subordinat kepentingan negara kapitalis Amerika Serikat dan sekutunya. Kunjungan Obama ke negeri ini menjadi simbol dari pola hubungan tersebut. Demikian juga perang melawan teror yang diadopsi Pemerintah Indonesia yang merupakan turunan dari GWOT (global war on terrorism)-nya AS.
Wajah buruk demokrasi terkuak. Hanya karena diberi label ‘Perang Melawan Terorisme’, sistem demokrasi kemudian membiarkan adanya penculikan, penahanan paksa dan rahasia serta penyiksaan. Korbannya semuanya Muslim. Semua itu legal hanya karena alasan demi kepentingan keamanan nasional. Sistem ini telah membuang hak asasi manusia dan prinsip-prinsip keadilan hukum. Sistem demokrasi telah menunjukkan jatidirinya yang asli: menindas rakyat.
Sistem ini pun meniscayakan perselibatan pihak penguasa dengan pengusaha. Pengusaha berkepentingan untuk mendapatkan dukungan kekuasaan demi usahanya. Sebaliknya, penguasa memerlukan dukungan (modal) pengusaha untuk meraih dan mempertahankan kekuasaannya. Walhasil, demokrasi hanyalah ‘kuda tunggangan’ bagi kedua kelompok ini, sementara rakyat hanya dijadikan obyek eksploitasi kepentingan mereka. Wajar jika banyak keputusan, kebijakan, UU atau peraturan yang dihasilkan melalui proses demokrasi nyata-nyata lebih berpihak kepada mereka ketimbang kepada rakyat. Inilah demokrasi-sebuah sistem yang cacat dan mengabaikan rakyat, yang tak layak diadopsi oleh umat Islam.

2. DPR: Fasilitas ‘Wah’, Kinerja Rendah.
Gaji setiap anggota DPR saat ini sangatlah besar. Belum lagi tunjangannya yang bermacam-macam dan rata-rata juga gede. Totalnya puluhan juta rupiah perbulan. Meski begitu, berbagai upaya tetap dilakukan untuk terus menumpuk kekayaan dan fasilitas mewah para anggota DPR. Selain usulan dana aspirasi, DPR juga berencana membangun gedung baru, yang akan menghabiskan biaya Rp 1,8 triliun. Gedung itu juga akan dilengkapi dengan pusat kebugaran dan spa.
Para anggota DPR pun getol jalan-jalan keluar negeri dengan judul ‘studi banding’. Biayanya sepanjang tahun 2010 dianggarkan Rp 162,9 miliar. Jika dibagi rata kepada 560 anggota DPR, setiap orang mendapat Rp 290,97 juta setahun atau Rp 24,25 juta setiap bulan. Anggaran sebesar ini hanya untuk kunjungan kerja ke luar negeri. Anggaran kunjungan di dalam negeri malah lebih besar lagi. Audit Badan Pemeriksa Keuangan Juni 2009 menyatakan disclaimer (tidak memberikan pendapat) terhadap pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas pimpinan dan anggota DPR untuk tahun anggaran 2007 dan 2008 yang seluruhnya berjumlah Rp 341,34 miliar.
Dengan semua fasilitas yang serba ‘wah’ itu, bagaimana prestasinya? Ternyata, kinerja DPR dalam kurun terakhir ini sangat buruk. Mahkamah Konstitusi menilai, produk legislasi DPR selama ini banyak yang tak beres karena menyimpang dari arah dan strategi Program Legislasi Nasional. Dalam lima tahun terakhir, MK telah membatalkan 58 UU yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dari 108 UU yang diujimaterikan. Bahkan ada UU yang diuji lebih dari sekali. Selesai pasal ini, ganti pasal lainnya yang diuji. Misalnya, UU Pemerintah Daerah diuji lebih dari 5 kali, Undang-Undang KPK diuji 9 kali, Undang-Undang Pemilu diuji 8 kali.
Banyak produk UU yang ujung-ujungnya juga hanya memenuhi kepentingan individu, kelompok tertentu yang ada dalam oligarki kekuasaan serta pihak asing. Untuk rakyat cukup janji-janji kosong tentang perubahan. Faktanya, meski banyak produk UU dihasilkan, rakyat tak pernah beranjak dari penderitaannya.
3. State Corruption.
Korupsi di negeri ini makin sistemik. Artinya, korupsi bukan lagi dilakukan oleh satu-dua orang, tetapi oleh banyak orang secara bersama-sama. Terungkapnya kasus Gayus menunjukkan hal itu. Yang jauh lebih berbahaya adalah saat negara justru menjadi pelaku korupsi melalui utak-atik kebijakan dan peraturan. Inilah yang disebut state corruption (korupsi negara). Skandal Bank Century dan IPO Krakatau Steel adalah contoh nyata. Kasus itu diduga telah merugikan negara triliunan rupiah. Segala usaha pemberantasan korupsi menjadi tak banyak artinya karena pelakunya adalah negara yang dilegalisasi oleh dirinya sendiri.
4. Kebijakan Ekonomi Liberal.
Saat ini makin banyak kebijakan ekonomi liberal yang dikeluarkan pemerintah. Di antaranya adalah kenaikan tarif listrik (TDL), privatisasi sejumlah BUMN dan rencana pembatasan subsidi BBM. Kenaikan TDL sebetulnya bisa dihindari andai PLN mendapat pasokan gas. Anehnya, produksi gas yang ada, seperti Gas Donggi Senoro, 70%-nya malah akan dijual ke luar negeri.
Demikian pula privatisasi sejumlah BUMN. Bila alasannya untuk menambah modal, mengapa tak diambil dari APBN atau dari penyisihan keuntungan? Bila untuk bank kecil seperti Bank Century yang milik swasta, Pemerintah dengan sigap menggelontorkan uang lebih dari Rp 6 triliun, mengapa untuk perusahaan milik negara langkah seperti itu tak dilakukan?
Adapun rencana pembatasan BBM tak lebih merupakan usaha Pemerintah untuk menuntaskan liberalisasi sektor Migas seperti yang digariskan IMF. Kebijakan itu tentu akan membuat perusahaan asing leluasa bermain di sektor hulu dan hilir (ritel/eceran). SPBU-SPBU asing akan mengeruk keuntungan besar dengan kebijakan ini. Ini tentu sebuah ironi besar. Bagaimana mungkin rakyat membeli barang milik mereka dari pihak asing dengan harga yang ditentukan oleh mereka, justru di dalam rumah mereka sendiri?
Kebijakan ekonomi yang makin liberal itu tentu makin memberatkan kehidupan ekonomi rakyat. Pengangguran pun makin meningkat. Akibatnya, sebagian dari mereka pun mencari kerja ke luar negeri. Namun, bukan uang yang didapat, tetapi penderitaan dan penyiksaan seperti yang menimpa Sumiati, bahkan pembunuhan seperti yang dialami Kikim Komalasari dan sejumlah TKW lain.
5. Intervensi Asing.
DPR yang diidealkan menjadi wakil rakyat, realitasnya justru menjadi alat pengesah campur tangan asing. UU SDA yang dihasilkan DPR, misalnya, tak lain merupakan pesanan dari Bank Dunia. UU lain seperti UU Migas, UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU Kelistrikan dll juga diduga sarat kepentingan asing.
Di sisi lain, intervensi asing, khususnya Amerika Serikat, bakal kian kokoh setelah naskah Kemitraan Komprehensif ditandatangani Pemerintah. Kunjungan Obama bulan lalu makin memperkuat cengkeraman kuku negara imperialis itu di negeri ini. Terungkapnya sejumlah dokumen diplomatik penting terkait Indonesia melalui situs Wikileaks hanyalah menegaskan tentang adanya campur tangan AS terhadap negeri ini.
6. Isu Terorisme dan Kebrutalan Densus 88.
Isu terorisme di tahun 2010 tak juga kunjung padam. Sejumlah kasus yang diklaim sebagai tindak terorisme seperti perampokan Bank CIMB - Niaga di Medan terjadi. Namun, dari investigasi yang dilakukan, terkuak sejumlah kejanggalan sekaligus kezaliman yang dilakukan Densus 88. Hal ini dipertegas oleh kesimpulan yang dilakukan Komnas HAM. Namun, Densus 88 tetap bergeming. Operasi jalan terus, nyaris tanpa kendali dan kontrol. Korban mungkin masih akan kembali berjatuhan di tahun-tahun mendatang, yang semuanya adalah Muslim.

7. Konflik Umat dan Aliran Sesat.
Sejumlah konflik umat terjadi di tahun 2010. Sesungguhnya konflik itu timbul bukan dipicu oleh umat Islam seperti yang banyak dituduhkan. Konflik umat dengan kelompok Ahmadiyah, misalnya, terjadi karena kelompok ini memang keras kepala. Mereka tak menaati SKB Tiga Menteri. Demikian juga konflik umat Islam dengan kelompok Kristen, terjadi karena mereka tak menaati ketentuan menyangkut pendirian tempat ibadah. Persoalan makin rumit saat mereka-dengan dukungan media massa dan jaringan LSM internasional-memaksakan kehendak. Terjadilah apa yang disebut ‘tirani minoritas’ yang merugikan kaum Muslim, penduduk mayoritas negeri ini.
8. Musibah dan Bencana.
Sepanjang tahun 2010 negeri ini diwarnai oleh banyak bencana: tsunami di Mentawai, longsor di Wasior Papua dan letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah/DIY. Bencana tersebut menyisakan sebuah ironi. Bila diyakini bahwa segala bencana itu adalah karena qudrah (kekuatan) dan iradah (kehendak) Allah SWT, lalu mengapa pada saat yang sama kita tetap tak mau tunduk dan taat kepada Allah SWT dalam kehidupan kita? Mengapa bangsa ini tak segera menerapkan syariah-Nya secara total dalam seluruh aspek kehidupan sebagai bukti ketaatannya kepada Allah SWT? Haruskah bangsa ini menunggu teguran lain berupa bencana yang lebih besar lagi?

Sikap Hizbut Tahrir Indonesia
Berkenaan dengan kenyataan di atas, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:
1.        Ada dua faktor utama di balik berbagai persoalan yang timbul, khususnya di sepanjang tahun 2010 ini: sistem yang bobrok (yakni sistem Kapitalisme-sekular, termasuk demokrasi di dalamnya) dan pemimpin (penguasa/wakil rakyat) yang tak amanah. Karena itu, bila kita ingin sungguh-sungguh lepas dari berbagai persoalan di atas, kita harus memilih sistem yang baik dan pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya datang dari Zat Yang Mahabaik, Allah SWT. Itulah syariah Islam yang diterapkan dalam sistem Khilafah. Adapun pemimpin yang amanah adalah yang mau sungguh-sungguh menjalankan sistem yang baik itu itu.
2.       Di sinilah sesungguhnya pentingnya seruan ”Selamatkan Indonesia dengan Syariah-Menuju Indonesia Lebih Baik”. Sebab, hanya dengan sistem yang berdasarkan syariah dalam institusi Khilafah dan dipimpin oleh pemimpin yang amanah (khalifah) Indonesia benar-benar bisa menjadi lebih baik. Dengan itu kerahmatan Islam bagi seluruh alam bisa diwujudkan secara nyata.
3.       Karena itu, hendaknya seluruh umat Islam, khususnya mereka yang memiliki kekuatan dan pengaruh, berusaha dengan sungguh-sungguh memperjuangkan penerapan syariah dan Khilafah di negeri ini. Hanya dengan syariah dan Khilafah saja kita bisa menyongsong tahun mendatang dengan lebih baik.

Sebagai catatan akhir, marilah kita merenungkan ayat ini:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّـهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Komentar al-islam:
AS tembakan 110 rudal ke Pakistan selama tahun 2010; banyak korban dari warga sipil (Republika, 28/12/2010).
Belumkah cukup bukti bahwa AS-lah teroris sejati?!

Negara Menjaga Ketakwaan Warganya

Oleh: Muhammad Bajuri
Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 14: “Hukum asal perbuatan manusia terikat dengan hukum syariah. Tidak dibenarkan melakukan suatu perbuatan, kecuali setelah mengetahui hukumnya. Hukum asal benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 83).
Pengantar
Manusia adalah makhluk termulia di antara makhluk-makhluk Allah lainnya, yang diciptakan hanya untuk menjalankan satu misi, yaitu beribadah kepada Allah semata, Zat Yang Mahamulia lagi Mahaperkasa (QS adz-Dzariyat [51]: 56). Dengan kata lain, kewajiban manusia adalah menaati semua perintah Allah dan menjauhi setiap larangan-Nya.
Hanya saja, keimanan seorang manusia itu fluktuatif; al-îmânu yazîdu wa yanqushu, keimanan seseorang itu pasti mengalami pasang surut atau naik turun. Dalam kondisi keimanannya yang turun, tidak menutup kemungkinan seorang manusia terbawa arus menuju suatu perbuatan yang dilarang Allah.
Oleh karena itu, negara wajib menjaga individu-indivudu warganya-yang berpotensi melakukan kemaksiatan-agar senantiasa terikat dengan hukum-hukum syariah, yang dengan keterikatannya itu ia dijamin dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Untuk bisa menjalankan kewajiban ini dengan sempurna, negara membutuhkan ketetapan hukum formil, berupa UUD, yang sifatnya mengikat.
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 14, yang berbunyi: “Hukum asal perbuatan manusia terikat dengan hukum syariah. Tidak dibenarkan melakukan suatu perbuatan, kecuali setelah mengetahui hukumnya. Hukum asal benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 83).

Kesempurnaan Syariah Islam
Islam datang dengan membawa seperangkat hukum yang komprehensif untuk menjawab setiap persoalan yang terjadi pada manusia, kapanpun dan di manapun. Tentang kesempurnaan syariah Islam ini, ditegaskan sendiri oleh Zat Yang Mahaempurna. Karena itu, sekecil apapun mustahil ada kekurangan di sana-sini. Allah SWT berfirman:
]الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلاَمَ دِينًا[
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Kucukupkan untuk kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama kalian (QS al-Maidah [5]: 3).
Kesempurnaan agama adalah kesempurnaan penjelasan menurut yang dikehendaki Allah SWT, sang Pemilik agama. Kesempurnaan itu terjadi, tentu setelah diturunkan hukum-hukum terkait akidah, sehingga tidak ada alasan bagi kaum Muslim untuk tidak mengetahuinya; setelah menjelaskan hukum-hukum tentang kaidah hukum Islam dengan perkataan dan perbuatan; serta setelah menjelaskan hukum-hukum seputar muamalah dan dasar-dasar sistem Islam (Ibnu Asyur, At-Tahrîr wa at-Tanwîr, VI/102).
Oleh karena itu, Allah SWT menegaskan bahwa setiap aspek kehidupan manusia, baik yang terkait hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri, maupun dengan sesamanya, semuanya telah dijelaskan dalil-dalilnya di dalam al-Quran (QS an-Nahl [16]: 89).
Hal ini pun dikuatkan lagi oleh kaidah bahasa Arab, yakni apabika kata “kull[un]” itu di-mudhaf-kan atau disandarkan pada isim nakirah (kata benda tidak tentu), maka maksudnya adalah istighrâq, yaitu mencakup segala jenis sesuatu (Al-Khathib, al-Mu’jam al-Mufashshal fi al-I’râb, hlm. 351). Dengan demikian, tidak ada satu pun perbuatan, dan tidak pula benda, kecuali Allah telah menjelaskan dalil-dalil hukumnya, termasuk dalil kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah saw.
Dengan demikian, siapa saja-setelah memahami kedua ayat tersebut-yang mengatakan, bahwa ada sebagian perbuatan, benda atau fakta yang sama sekali tidak ada dalil hukumnya menurut syariah, maka dengan perkataannya itu sungguh ia telah menghina dan melecehkan kesempurnaan syariah Islam (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 84; Abdullah, Dirâsât fi al-Fikr al-Islami, hlm. 11).
Wajib Terikat dengan Syariah
Kesempurnaan syariah itu tidak akan berarti apa-apa bagi manusia tanpa adanya keterikatan dengannya. Karenanya, Allah memerintahkan setiap Muslim agar dalam menjalankan semua aktivitasnya senantiasa sejalan dengan hukum syariah. Bahkan Allah menafikan keimanan mereka yang tidak terikat dengan syariah yang dibawa oleh Rasulullah saw. ini (QS an-Nisa’ [4]: 65).
Peniadaan keimanan dari mereka yang tidak terikat syariah dipertegas oleh Rasulullah saw dengan sabdanya:
«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ»
Tidaklah beriman seseorang di antara kalian hingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (HR Abu Hatim dalam Shahih-nya).
Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah berkata, “Jika keimanan itu tidak akan diraih hingga seorang hamba tunduk dan berserah kepada Rasulullah saw.,  menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang beliau bawa, menjadikan Rasulullah dan jihad didahulukan mengalahkan cintanya kepada diri, harta dan keluarganya, maka bagaimana terkait dengan ketundukan dan kepatuhan seorang hamba kepada Allah SWT?” (Ibnu Taimiyah, Maj’mû’ al-Fatâwa, X/287).
Oleh karena itu, jika seorang Muslim hendak melakukan perbuatan apapun, ia wajib terikat dengan hukum Allah terkait dengan perbuatan tersebut. Jika seorang Muslim hendak mengambil atau memberikan sesuatu apapun, ia pun wajib terikat dengan hukum Allah terkait dengan sesuatu tersebut. Dengan kata lain, seorang Muslim tidak boleh melakukan perbuatan atau memanfaatkan sesuatu apapun di luar ketentuan hukum, yakni harus selalu terikat dengan syariah. (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 84).

Hukum Asal Perbuatan
Hukum syariah adalah seruan dari Pembuat hukum (khithâb Asy-Syâri’) yang berkaitan dengan perbuatan (af’âl) manusia. Seruan itu datang untuk menjawab persoalan-persoalan yang terkait dengan perbuatan manusia, bukan untuk sesuatu (asyyâ’). Ketika seruan itu datang untuk sesuatu, maka itu disebabkan bahwa sesuatu itu berhubungan erat dengan perbuatan manusia. Dengan demikian, hukum asal seruan ditujukan untuk perbuatan manusia, bukan untuk sesuatu. Dalam hal ini sama saja, ada seruan yang datang untuk perbuatan (af’âl) tanpa menyebutkan sesuatu (asyyâ’)-nya sama sekali, seperti firman Allah SWT:
] كُلُوا وَاشْرَبُوا[
Makan dan minumlah (QS al-Baqarah [2]: 60).
Ada juga seruan yang datang untuk sesuatu (asyyâ’) tanpa menyebutkan perbuatan (af’âl)-nya sama sekali, seperti firman Allah SWT:
]حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ[
Diharamkan atas kalian bangkai, darah dan daging babi (QS al-Baqarah [2]: 60).
Hukum haram pada ketiga benda ini tidak lain adalah terkait dengan perbuatan manusia yang berhubungan dengan benda itu seperti memakannya, menjualnya, membelinya dan perbuatan manusia lainnya yang berhubungan dengan benda-benda itu.
Ada juga seruan yang datang untuk perbuatan (af’âl) dengan menyebutkan sesuatu (asyyâ’)-nya, seperti firman Allah SWT:
] لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا[
Agar kalian dapat memakan darinya daging yang segar (ikan) (QS an-Nahl [16]: 14).
Seruan pada ayat-ayat di atas, semuanya ditujukan untuk perbuatan manusia. Mengingat seruan dari Pembuat hukum (khithâb Asy-Syâri’) itu tidak lain adalah terkait dengan perbuatan manusia, maka di sinilah ditetapkan sebuah kaidah syariah yang terkait dengan hukum asal perbuatan manusia, yaitu:
الأَ صْلُ فِي الأَفْعَالِ التَّقَيُّدُ بِالحُكْمِ الشَّرْعِيِّ
Hukum asal setiap perbuat manusia itu terikat dengan hukum syariah.
Artinya, hukum asal semua perbuatan manusia itu adalah memiliki hukum syariah yang wajib dicari dari dalil-dalil syariah sebelum melakukan perbuatan. Sebab, tujuan dari melakukan perbuatan itu adalah dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Adapun diterimanya ibadah itu harus memenuhi dua syarat: ikhlas karena Allah dan kesesuaiannya dengan hukum syariah (Al-Badrani, Îqâd al-Fikri Qirâ’ah fi Kitab al-Fikr al-Islâmi, hlm. 221).
Hukum Asal Benda
Sesuatu/benda (asyyâ’) bukanlah perbuatan (af’âl). Sesuatu (asyyâ’) adalah benda atau materi yang digunakan manusia dalam menjalankan perbuatannya. Perbuatan (af’âl) adalah apa yang dilakukan manusia, baik berupa aktivitas maupun perkataan untuk memenuhi kebutuhannya (Ismail, al-Fikr al-Islâmi, hlm. 35).
Hukum yang terkait dengan sesuatu/benda itu datang melalui dalil umum yang menjelaskan hukum perbuatan. Adapun dalil yang datang secara khusus untuk sesuatu/benda, maka itu merupakan pengecualian atas dalil umum tersebut. Sebab, tuntutan melakukan (thalab al-fi’l) atau memilih (at-tahyîr) itu mencakup setiap sesuatu, dan setiap sesuatu yang berhubungan dengan tuntutan itu adalah mubah (halal). Karena itu, mengharamkan sesuatu dari sesuatu-sesuatu itu butuh pada nash atau dalil, misalnya firman Allah SWT:
]وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ[
Dia menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari Allah (QS al-Jatsiyah [45]: 13).
Ayat ini menjelaskan bahwa setiap sesuatu/benda yang ada di langit dan di bumi, yang Allah ciptakan untuk manusia, semuanya adalah mubah (halal).
Dari sini maka ditetapkan sebuah kaidah syariah yang terkait dengan hukum asal sesuatu/benda, yaitu:
الأَ صْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّحْرِيْمِ
Hukum asal setiap sesuatu/benda adalah mubah (halal) selama belum ada dalil yang mengharamkannya.
Dalam hal ini al-Qaradhawi berkata, “Dalam syariah Islam arena atau wilayah haram-terkait sesuatu-sangatlah sempit sekali. Sebaliknya, arena atau wilayah halal malah sangat luas sekali. Sebab nash-nash sahih dan tegas yang mengharamkan sesuatu jumlahnya sangat sedikit sekali. Adapun sesuatu yang tidak ada keterangan halal-haramnya, dikembalikan pada hukum asalnya, yaitu mubah (halal), dan masuk dalam kategori yang dima’fukan Allah.” (Al-Qaradhawi, Al-Halâl wal Harâm fil Islâm, hlm. 20).
Dengan adanya ketetapan undang-undang seperti ini, maka tidak akan pernah terjadi kasus-kasus seperti yang dialami para TKW selama ini. Sebab, negara yang berkewajiban menjaga keterikatan setiap warga negaranya terhadap syariah tidak akan membiarkannya melakukan perbuatan yang di dalamnya ada pelanggaran terhadap syariah Islam, sekalipun perbuatan itu mendatangkan devisa atau manfaat lainya bagi negara. Sebab, halal-haram merupakan satu-satunya tolok ukur yang digunakan negara dalam mengatur roda pemerintahannya.
WalLâhu a’lam bish-shawâb. []
Daftar Bacaan
Abdullah, Muhammad Husain, Dirâsât fil Fikri al-Islami, (Beirut: Dar al-Bayâriq), 1990.
Al-Badrani, Izzuddin Hisyam bin Abdul Karim, Îqâd al-Fikri Qirâ’ah fi Kitab al-Fikr al-Islâmi, tanpa penerbit, tanpa tahun.
Ibnu Asyur, Muhammad ath-Thahir, At-Tahrîr wa at-Tanwîr, (Tunis: Dar Sahnun), 1997.
Ibnu Taimiyah, Abdus Salam bin Abdullah bin Ali, Maj’mû’ al-Fatâwa, (Dar Alam al-Kutub), tanpa tahun.
Ismail, Muhammad Muhammad, Al-Fikr al-Islâmi, (Beirut: al-Maktabah al-Wa’ie), 1958.
Al-Khathib, Thahir Yusuf, Al-Mu’jam al-Mufashshal fil I’râb, (Al-Haramain), tanpa tahun.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
Al-Qaradhawi, Yusuf, Al-Halâl wal Harâm fil Islâm, (Darul Ma’rifah), 1985.

Mari Bersyukur Setiap Waktu

Pernahkah Anda berpikir berapa kekayaan setiap orang jika dihargai dengan uang? Berapakah harga tubuh manusia jika diuangkan? Berapa harga mata, hidung, telinga, mulut, otak, kepala, lidah, tangan kaki dan apa saja yang menjadi bagian dari tubuh manusia jika dirupiahkan?
Saat mata kita sehat, kita tak pernah berpikir betapa berharganya mata kita. Coba saja jika suatu ketika mata Anda, karena satu sebab kecelakaan tertentu, menjadi buta. Kebetulan Anda memiliki tabungan milyaran rupiah. Apa yang Anda lakukan? Anda pasti akan membayar berapa milyar pun untuk mengembalikan penglihatan Anda. Tak peduli jika untuk itu tabungan Anda terkuras nyaris habis. Saat tangan atau kaki kita sehat dan normal, kita pun mungkin jarang berpikir betapa bernilainya kedua anggota tubuh kita itu. Namun, pernahkah Anda membayangkan andai suatu saat, karena satu sebab musibah tertentu, tangan atau kaki Anda itu harus diamputasi? Pasti, jika kebetulan Anda orang kaya, Anda akan sanggup mengeluarkan ratusan juta atau bahkan milyar rupiah asal tangan atau kaki Anda tidak diamputasi dan kembali sehat serta  normal seperti sedia kala. Bagaimana pula jika satu sebab bencana tertentu wajah Anda yang ganteng/cantik tiba-tiba harus menerima kenyataan rusak parah tak berbentuk akibat terbakar hebat atau terkena air keras? Pasti, Anda pun dengan ikhlas dan rela akan melepaskan harta apa saja yang Anda miliki asal wajah Anda bisa kembali ganteng/cantik seperti sedia kala.
Sudah banyak bukti, orang-orang yang berpunya sanggup mengorbankan hartanya sebanyak apapun demi mengembalikan kesehatannya; demi sembuh dari penyakit jantung, kanker, kelumpuhan, kecacatan dll. Bahkan demi mengembalikan agar kulitnya menjadi kencang, atau agar keriput di wajahnya bisa hilang, banyak orang rela merogoh sakunya dalam-dalam.
Jika sudah demikian, semestinya kita sadar, betapa kayanya setiap diri kita; hatta jika secara materi kita bukan orang berpunya. Bukankah kita akan tetap mempertahankan mata atau hidung kita meski ada orang mau menawar dan membelinya seharga ratusan juta rupiah? Bukankah kita tak akan rela melepas jantung atau paru-paru kita walau ada orang berani menawarnya seharga semilyar rupiah? Bukankah kita tak akan sudi kehilangan tangan atau kaki kita meski untuk itu kita mendapatkan kompensasi harta yang melimpah-ruah? Bukankah kita pun tak akan pernah rela menyewakan nafas kita barang lima atau 10 menit meski harga sewanya jutaan rupiah? Sebab, kita amat paham, tidak bernafas lima atau 10 menit berisiko menjadikan kita mati lemas.
Belum lagi jika kita berusaha meneliti udara yang kita hirup saat bernafas. Pikirkan pula air yang kita minum; yang digunakan untuk mandi, mencuci, memasak; dll. Renungkan pula bumi yang kita pijak, sinar matahari yang menyinari setiap hari, air hujan yang turun ke bumi, sinar bulan yang menghiasai malam, jalanan yang kita lalui, pemandangan alam yang kita nikmati, dll. Bagaimana jika semua itu harus kita beli? Berapa ratus juta bahkan berapa puluh milyar rupiah uang yang harus kita keluarkan?
Namun, alhamdulillah, semua kekayaan dan kemewahan itu Allah berikan kepada kita secara cuma-cuma alias gratis! Tak sepeser pun kita dipungut oleh Allah SWT untuk membayar nikmat yang luar biasa itu. Amat pantaslah jika Allah SWT dalam Alquran surat ar-Rahman berkali-kali mengajukan pertanyaan retoris kepada manusia: Fa bi ayyi âlâ’i Rabbikumâ tukadzibân (Nikmat Tuhan manakah yang kalian dustakan)? Lebih dari itu, Dia-lah Tuhan Yang mengurus kita siang-malam tanpa pernah meminta upah secuil pun. Mahabenar Allah Yang berfirman (yang artinya): Katakanlah, “Siapakah yang dapat memelihara kalian pada waktu malam dan siang hari selain Zat Yang Maha Pemurah?”(TQS al-Anbiya’ [21]: 42).
Pertanyaannya: Sudahkah atas semua itu kita bersyukur? Ataukah kita malah sering berlaku sombong dan takabur?  Sudah berapa milyar kali hamdalah kita ucapkan untuk-Nya? Ataukah kita malah gemar berkhianat kepada-Nya? Na’udzu billah.
Semoga kita semua menjadi hamba Allah SWT yang selalu bersyukur setiap waktu atas segala karunia-Nya yang luar biasa itu, bukan hamba yang takabur apalagi kufur kepada-Nya. Paling tidak, hal itu dibuktikan dengan keseriusan dan ketekunan kita dalam beribadah dan ber-taqarrub kepada-Nya; dalam menaati segala titah-Nya; dalam mengorbankan apa saja untuk agama-Nya; serta dalam berjuang menegakkan akidah dan syariah-Nya demi kemuliaan Islam dan umatnya. Amin

Tahun 2011 Pemerintah Tambah Hutang Rp 200 Triliun

Adanya selisih lebih pembiayaan anggaran (SILPA) tak membuat Ditjen Pengelolaan Utang Kementrian Keuangan (Kemenkeu) merubah rencana penerbitan utang tahun depan. Surat Utang negara tetap akan dilelang setiap bulannnya untuk mencapai target growth penerimaan utang 2011 sebesar Rp 200,6 triliun.
Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementriaan Keuangan Rahmat Waluyanto mengatakan setiap bulan pemerintah akan menerbitkan surat utang baik melalu lelang SUN ataupun sukuk. “ Kita juga tetap akan melakukan penerbitan insturmen tertentu melalui book building dan private placemenct itu kita lakukan seperti apa yang kita lakukan pada tahun ini,” ujar Rahmat, di kantornya, Kamis (30/12).
Memang, lanjut Rahmat, ada kemungkinan untuk melakukan diversifikasi obligasi mengingat besarnya jumlah penerimaan utang yang harus dicapai. Jika tidak, maka pasar ditakutkan akan mengalami crowding out (kejenuhan pasar).
“Sekarang ini growth nya Rp 162 triliun , kedepan menjadi Rp 200,6 triliun itu tentunya kita terus lakukan supaya tidak ada crowding out di pasar domestik. Tapi kalau sekarang marketnya masih bagus serperi saat ini kita akan tetap akan kosentrasi penerbitan di domestik market,” papar Rahmat.
Soal adanya Silpa, menurut Rahmat itu disebabkan karena masalah penyerapan dan hal tersebut bukan merupakan kewenangannya. Apa yang dikerjakan oleh Ditjen utang adalah mencari pembiayaan melalui utang. Walaupun begitu baiknya utang tersebut memang semuanya terpakai.
“Kita nerbitin-nerbitin aja. Kita bukan menyerap, kita hanya cari utang saja. Seharusnya memang semuanya dipakai. Realisasinya memang seharusnya sesuai dengan target. Kalau penyerapan itu Dirjen Anggaran,” tukas Rahmat.
Supaya tidak terjadi Silpa yang besar, menurut Rahmat pemerintah akan terus meningkatkan koordinasi internal khususnya terkait penyerpan. Koordinasi itu yakni antara pengeolaan utang dan pengelolaan kas agar lebih baik. “Karena penyerapan kita kan anggaran berbasis kinerja. Koordinasi antara pengeolaan utang dan kas supaya lebih baik,” jelasnya. (republika.co.id, 30/12/2010)

Pejuang Syari'ah & Khilafah