Dunia berdiri di persimpangan. Banyak kesulitan. Banyak ketidakpastian. Namun, masa depan akan cerah, insya Allah. Tanda-tanda meredupnya era Amerika semakin tampak. Amerika melemah dan lelah. Jangkauan globalnya kehilangan pamor. Bahkan negeri seperti Korea Utara mampu menyulitkan bagi Amerika. Amerika tidak lagi mengontrol dunia sendirian. Ada Cina dan Rusia. Namun, ada tantangan yang lebih berat bagi Amerika, yaitu mempertahankan statusnya sebagai satu-satunya negara global di dunia.
Bandingkan posisi Amerika saat Perang Afgan sekarang dengan Perang Dunia II. Tidak pernah sebelumnya militer Amerika mendapatkan perlawanan sehebat ini. Tentara Amerika tersebar secara tipis, dari Asia Pasifik, Timur Tengah dan Asia Tengah. Pangkalan militernya tidak lagi disukai oleh penduduk setempat, bahkan oleh warga Jepang. Survei terakhir menunjukkan kebencian terhadap keberadaan pangkalan militer Amerika di Jepang.
Semangat militer Amerika juga menurun. Tentara yang ditugaskan tidak sedikit yang menolak; justru gembira menghadapi mahkamah militer. Dua tahun perang di Irak dan Afganistan menunjukkan menurunnya efektivitas militer negara adidaya itu. Setiap hari semakin banyak sekutu NATO yang meninggalkan Amerika. Bahkan ia tidak mampu menghentikan perlawanan Afganistan yang menggunakan amunisi tahun 70-an dan tidak pernah mendapatkan pelatihan militer pula. Perang ini sudah memakan waktu lebih lama dari kombinasi PD I, PD II dan Perang Vietnam sekaligus. Kalau saja tidak dibantu oleh Pakistan dan Iran, Amerika tentu sudah kalah sekarang. Panglima Amerika pun telah memohon kepada atasannya untuk berkompromi saja dengan Taliban.
Belum lama ini Amerika juga telah kalah di Somalia. Amerika pun gagal mempertahankan sekutunya Georgia dalam ‘Perang Ossetia Selatan’. Ekonominya bangkrut. Perang Irak telah menghabiskan 10% dari GDP (gross domestic product). Krisis telah menghancurkan industri keuangan. Pada September 2010, bank yang ke-300 telah jatuh. Perusahaan seperti Lehman Brothers telah bangkrut. Dari tahun 2007-2010, ekonomi Amerika telah kehilangan 16 triliun dolar.
Rencana untuk membangkitkan kembali ekonominya gagal. Tiga pakar terkemuka penasihat ekonomi juga telah mengundurkan diri. Amerika kini tercatat mengalami tingkat pengangguran tertinggi dalam 45 tahun terakhir, yaitu sekitar 17%. Setiap bulan 650 ribu warga Amerika kehilangan pekerjaan; 48 negara bagian Amerika juga sudah bangkrut. Hutang perkapitanya di dunia termasuk tertinggi. Setiap warga Amerika memiliki hutang 13 kali lipat dibandingkan penghasilannya. Cerita sukses keberhasilan Amerika dalam menengahi konflik global dan menghasilkan kestabilan tidak lagi terdengar.
Kepemimpinan Amerika pun termasuk yang dibenci di dunia. Insiden ‘Sepatu untuk Bush’ menggambarkan sedikit kebencian itu. Malah Bush termasuk orang yang dianggap paling berbahaya di dunia, lebih berbahaya daripada Osama Bin Laden. Kepemimpinan Bush juga dikenal sebagai Terorisme No 1. Secara moral pun Amerika telah hancur, dengan tingkat insiden AIDS tertinggi, dan pendapatan terbanyak dari bisnis pornografi remaja!
Amerika telah terjebak dalam perang yang tidak ada habisnya, yaitu ‘Perang Melawan Islam.’ Perlu dicatat, Amerika tidaklah memerangi militer resmi suatu negara, namun sekadar perlawanan milisi Taliban dan segelintir grup di Irak. Menariknya, Amerika adalah satu-satunya negara global yang tidak pernah menang dalam melawan kelompok non-negara, contohnya adalah dalam Perang Vietnam.
Namun, aspek kedua adalah perang yang dilancarkan Amerika bersifat ideologis. Amerika memerangi ideologi yang disandarkan pada ‘La ilaha illallâh Muhammadur Rasul’Allah’. Ini tercermin dari Bush yang menggunakan kata ‘crusade’ . Adapun Obama berusaha mengelabui umat Islam di dunia dengan mengatakan, “We are not at war against Islam (Kami tidak memerangi Islam).”
Faktanya, ini adalah perang melawan waktu, sejarah dan Allah ‘Azza wa Jalla. Dengan kaca mata iman yang tajam, umat Islam menyaksikan pembantaian, pembunuhan berdarah dingin serta pelecehan kehormatan saudara-saudara muslim di Irak, Afganistan, Palestina, Pakistan, dan Kashmir secara sistematis oleh Amerika dan sekutunya.
Umat juga melihat penguasanya seperti Erdogan, Husni Mubarok, Asif Ali Zardari, Susilo, Hamid Karzai, Maliki, Hasina, Khaleda, King Abdullah, Bashar al-Asad dan lainnya adalah boneka Amerika. Mereka menggunakan cara dan upaya untuk merendahkan kehormatan umat Islam. Tidak bisa dipungkiri bahwa umat menyaksikan pengkhianatan penguasa mereka ketika Irak dan Afganistan diserbu dan diduduki, ketika kerudung dilarang, ketika al-Quran dilecehkan, dibakar dan Rasulullah dihina kehormatannya.
Semua kejadian ini memotivasi umat Islam untuk mencari perlindungan dari Amir al-Mu’minin di bawah panji Negara Islam, Khilafah. Maka dari itu, tantangan global yang kelak harus Amerika hadapi adalah umat Islam, saat ini lebih dari 81%1 menyokong dengan penuh kembalinya negara Islam Khilafah, yang dipimpin oleh Amir al-Mu’minun; sebagaimana dicontohkan oleh Abu Bakr (ra.), Umar Ibn al-Khaththab (ra.), Uthman Ibn Affan (ra.) dan Ali Ibn Abu Talib (ra.).
Perlu dipertimbangkan secara serius bahwa Amerika sangat khawatir dan takut. Padahal umat Islam saat ini belum memiliki Khilafah dan hanya sebatas menyuarakan aspirasi politik mereka untuk menyatu di bawah Khilafah. Kekhawatiran Amerika ini tampak dari pernyataan bahwa Khilafah adalah faktor kebijakan luar negeri yang utama yang akan menimbulkan dampak buruk pada keamanan Amerika dan sekutunya.
Dalam wawancara dengan BBC Radio 4, pensiunan jenderal Richard Dannatt, yang juga penasihat perdana menteri Inggris David Cameron menyatakan, “Di sini ada agenda Islam, dan kalau ini didiamkan dan tidak segera ditumpas di Afganistan, atau Asia Selatan, maka pengaruhnya akan segera meluas. Agenda ini akan tumbuh dan ini poinnya, kita bisa melihat ia akan meluas dari Asia Selatan, Timur Tengah, hingga Afrika Utara, dan menancapkan kembali panji kejayaan Khilafah Islamiyah abad 14 dan 15.”
Dinamika Politik Internasional
Situasi internasional selalu bersifat dinamis dan berubah-ubah. Dinamika situasi internasional ini terbentuk dari interaksi antarnegara yang mampu berperan secara efektif. Dari banyak negara yang aktif bermain dalam kancah internasional, hanya segelintir negara yang mampu berperan secara efektif. Efektivitas suatu negara berbanding lurus dengan kekuatan yang dimiliki negara tersebut dan terukur dari berbagai faktor.
Karena situasi masing-masing negara berbeda, bergantung pada kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, maka relasi antarnegara pun bisa bervariasi. Perubahan relasi bisa terjadi karena pecahnya perang dimana negara yang terlibat menjadi lemah yang menyebabkan turunnya kemampuan dalam mempengaruhi negara lain. Dalam situasi seperti ini, negara lain akan mengambil kesempatan untuk menggantikan posisi negara yang terlemahkan.
Di lain pihak, perubahan juga bisa terjadi di masa damai melalui proses perubahan peta kekuatan secara bertahap. Suatu negara bisa menjadi lemah dan negara lainnya bisa menguat. Namun demikian, peperangan adalah faktor pengubah yang paling efektif sebagaimana terjadi pada Austria, Jepang dan Jerman. Karena adanya variasi perubahan situasi dan kekuatan suatu negara maka situasi internasional pun berubah. Namun, perubahan ini tidak berlangsung cepat dan perlu waktu untuk mengubah situasi internasional.
Menuju Kekuatan Adidaya Global Sejati
Dunia Barat memiliki pemahaman yang keliru tentang apa artinya menjadi negara aktif, negara berpengaruh, negara adidaya ataupun negara yang memimpin dunia. Karena itu, sebelum menjelaskan apa makna menjadi negara yang memimpin dunia, perlu meninjau dan membongkar kekeliruan pemahaman Barat terhadap hal ini. Contohnya, sejarahwan AJP Taylor (1954) mendefinisikan kekuatan adidaya sebagai “pembuktian keadidayaan suatu negara adalah kekuatannya dalam berperang.” Negara adidaya dipahami sebagai negara yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi percaturan global. Lebih jauh lagi, ia memiliki kekuatan ekonomi, militer, diplomasi dan budaya, yang menyebabkan negara-negara lain yang lebih lemah mengikuti pendapat negara adidaya sebelum melakukan aksinya.
Demikian juga Knopf Organski (1958) mendefinisikan negara adidaya dalam hal kapasitas militer, ekonomi dan politiknya. Kenneth Waltz (1983), sang pendiri teori neo-realistik dari hubungan internasional, menggunakan kriteria dalam menentukan ciri negara adidaya: populasi dan wilayahnya, potensi sumberdayanya, kapasitas ekonomi, kestabilan politik dan kompetensinya serta kekuatan militernya. Pendeknya, semua itu bisa dirangkum dalam tiga ciri penting: kapasitas kekuatan, aspek wilayah, status.
Lebih jauh , Barat menggunakan istilah superpower, yang berarti suatu negara yang memiliki posisi dominan dalam skala internasional; saat ia mampu mengendalikan peristiwa dunia, mempertahankan kepen-tingannya, dan menunjukkan kekuatan yang serius untuk melindungi kepentingan-kepentingannya tersebut. Kekuatan adidaya yang mayor dipahami secara tradisional sebagai kekuatan setingkat di atas negara adidaya biasa.
Lyman Miller, peneliti pada Hoover Institution dan dosen National Security Affairs di US Naval Postgraduate School di Monterey, California, dalam tulisannya berjudul, “”Bangkitnya Cina Adidaya Baru?” menegaskan bahwa “komponen dasar negeri adidaya bisa diukur dari 4 macam kekuatan (power) yaitu: militer, ekonomi, politik dan kultur (atau yang disebut oleh ahli politik Joseph Nye sebagai ‘soft power’). Dengan demikian, menurut kriteria Barat, untuk menjadi negeri adidaya diperlukan luas dan kendali teritorial, kekuatan ekonomi, kekuatan militer, kekuatan politik, dan diplomasi.
Akan tetapi, pemahaman tentang keadidayaan ini salah dan terlihat kesan mentalitas penjajah yang lekat dengan dunia Barat. Hal ini karena, menurut pemahaman mereka, kriteria utama yang dimiliki negeri adidaya adalah kekuatan militer dan ekonomi. Ini diperkuat oleh fakta sejarah peperangan selama 230 tahun oleh Amerika dan Inggris, yang menjadi bukti mentalitas penjajah ini.
Lebih jauh lagi, penjajahan ekonomi melalui tangan Bank Dunia, IMF dan perusahaan multinasional merupakan sarana penjajahan bagi Barat untuk menjamin kesejahteraan ekonomi mereka sendiri. Pemahaman mereka ini juga melupakan potensi manusia untuk memiliki moral dan pencerahan intelektual sehingga mampu disatukan dalam tujuan bersama yaitu kebaikan untuk, keadilan bagi, dan pandangan hidup yang mengayomi semua manusia, dan bukan sekadar untuk melayani penguasa mereka.
Tidak heran ketika Kim Richard Nossal (1999) menegaskan bahwa negara harus ‘menduduki’ wilayah dalam skala benua dan memiliki kemampuan senjata nuklir. Sementara itu, Professor Paul Dukes mengatakan bahwa negara adidaya ‘harus mampu memiliki strategi global, termasuk menghancurkan dunia ini sendiri’. Jadi, keliru menggunakan istilah ‘superpower’ karena ia sudah dirasuki mentalitas penjajah.
Pemahaman yang benar tentang sumber kekuatan suatu negara tidak harus hanya bergantung pada kekuatan militer, tetapi juga pada kekuatan materi, intelektual dan moral; bila perlu, berkemampuan untuk mengendalikan kekuatan yang diperlukan meski berada di luar perbatasannya sendiri. Karena itu, kekuatan suatu negara terletak pada ideologi dan pesan umum yang ia emban dan ia sebarkan kepada dunia, termasuk kekuatan militer, ekonomi, dan ketajaman naluri diplomasi dan aksi politik.
Kekuatan ideologi, militer dan ekonomi semuanya memiliki potensi untuk mencapai dan melindungi kepentingan negara, termasuk menunjukkan pamornya dalam kancah interaksi internasional. Ini semua bisa diterjemahkan dalam bentuk pengaruh politik yang kuat. Memang, tidak dipungkiri, bahwa militer masih merupakan simbol yang efektif bagi suatu negara. Akan tetapi, ini bergantung pada keputusan negara untuk menggunakan kekuatan militer ketika sudah tidak ada opsi lain dalam melindungi kepentingannya.
Kepentingan negara dalam hal ini adalah ideologi yang diemban Negara seperti menumbuhkan atmosfir yang kondusif dalam penyebarluasan ideologinya. Kepentingan lainnya adalah bersifat moral, yakni negara berupaya menjaga pamor dan kehormatannya dalam situasi internasional; atau bisa berupa kepentingan materi seperti masalah yang terkait dengan keamanan seperti kedaulatan wilayah strategis, sumberdaya alam, dan pasar internasional untuk memasarkan produk industri dan pertanian ketika pasar domestik sudah tercukupi.
Dalam masa damai, negara yang paling berpengaruh atau negara nomor satu di dunia adalah negara yang opininya menentukan arah perjalanan dunia. Dalam hal ini, negara di peringkat berikutnya memiliki status yang sama sebagaimana negara lainnya. Pengaruh yang dimiliki suatu negara terhadap situasi internasional bergantung pada kemampuannya dalam mempengaruhi negara nomor satu tersebut.
Pengaruh negara lain terhadap negara nomor satu yang memimpin dunia berbanding lurus dengan kekuatan yang dimiliki negara tersebut, dan kemampuannya dalam mengendalikan negara nomor satu. Namun, tentu negara yang memimpin dunia tetap memiliki kendali terhadap politik internasional untuk kepentingannya sendiri.
Ruang lingkup kepentingan suatu negara bergantung pada bentuk dan ukuran negara tersebut. Contohnya, kepentingan yang bersifat regional akan tetap terbatas secara regional dan tentu akan membatasi aktifitas politiknya yang akan bersifat regional juga. Sebaliknya, Negara Global mengendalikan semua kepentingannya di seluruh penjuru dunia dan memiliki kepedulian dan interaksi yang luas. Dengan demikian, seluruh wilayah dunia adalah panggung politik baginya.
Namun, dari semua itu, kriteria yang terpenting untuk menentukan apakah suatu negara akan bangkit menjadi negara yang memimpin dunia atau yang paling aktif adalah ideologinya atau pesan universal yang dia emban. Penting untuk diingat bahwa prinsip ideologi yang diemban negara yang pernah atau sedang memimpin dunia adalah berbeda-beda. Perbedaan ideologi yang menuntun kebijakan negara tentu akan menghasilkan perbedaan dalam melaksanakan aktivitas militer, politik, dan ekonomi.
Contohnya, imperium Inggris, negeri kecil yang luas wilayahnya hanya 1,4% dari dunia dan dengan populasinya yang kecil telah mengontrol semua benua tanpa ada satu bangsa pun yang bisa menantang superioritasnya sejak abad 19 hingga abad 20. Di lain pihak, Negara Khilafah yang berawal dari kota Madinah telah meluaskan wilayahnya dan mengatur separuh belahan dunia. Tentu ada perbedaan yang sangat menyolok dari dua contoh ini dan sejarahnya pun terekam dalam ingatan manusia.
Wallahu a’lam bi ash-shawab. []
Catatan kaki:
1 Global public opinion survey by University of Maryland, 2009