Assalamu Alaikum Wr.Wb. SELAMAT DATANG KEPADA SELURUH PEJUANG SYARI'AH & KHILAFAH ........

Kamis, 24 Februari 2011

Metode Meraih Kekuasaan Yang Sahih

Oleh: Hafidz Abdurrahman
Angin perubahan yang berhembus dari Tunisia dipicu oleh kemarahan rakyat yang membuncah kepada penguasanya. Selama dua bulan, rakyat Tunisia bangkit melakukan perlawanan kepada penguasa despot (thaghut), Zain al-Abidin bin Ali yang berkuasa selama 24 tahun. Ben Ali pun jatuh, setelah militer mengambil alih kekuasaan di Tunisia.
Angin perubahan ini pun berhembus ke Mesir. Selama tiga minggu non stop, rakyat Mesir yang selama ini merasa tertindas oleh kediktatoran rezim diktator Husni Mubarak, pun bangkit melakukan perlawanan. Mubarak pun tumbang, Jumat (11/2). Pengunduran diri itu diumumkan wakilnya, Omar Sulaiman, kepala intelijen Mesir dan binaan CIA. Kekuasaan Mesir kini berada di tangan militer.
Dari dua peristiwa ini, bisa diambil pelajaran bahwa bertahan dan tumbangnya sebuah rezim tidak bisa dilepaskan dari dukungan militer. Ben Ali tumbang setelah militer, dan tentu Prancis, tidak lagi mendukung penguasa tiran itu. Sebaliknya, Mubarak pada awalnya tetap bertahan juga karena dukungan militer, selain tentu juga dukungan Amerika dan Israel, di belakang rezim tersebut. Karena itu, kekuatan rakyat dalam bentuk people power sebesar apapun tidak serta merta bisa menggulingkan rezim, kecuali dengan dukungan militer.
Dengan demikian, peranan militer sangat menentukan dalam perubahan. Baik murni bersandar pada kekuatannya sendiri, maupun karena dukungan dari luar. Dukungan luar pun tidak bisa serta merta mengambil alih kekuasaan, kecuali melalui dua jalan. Pertama, melalui kekuatan militer setempat, sebagaimana yang dilakukan Amerika ketika menggulingkan Soekarno, melalui Soeharto. Kedua, melalui invasi militer, sebagaimana yang dilakukan Amerika ketika menggulingkan Saddam Husein. Karena itu, metode perubahan melalui thalab an-nushrah sebenarnya bukan merupakan hal yang asing dalam proses perubahan.
Memang benar, bahwa people power bisa digunakan untuk melakukan perubahan dengan menjatuhkan rezim yang ada, lalu menggantinya dengan rezim yang baru. Meski, sebagaimana uraian di atas, perubahan itu tidak serta merta karena kekuatan rakyat, tetapi karena adanya dukungan militer. Dukungan militer tersebut diberikan setelah adanya preassure yang kuat dari rakyat. Posisi people power dalam konteks ini semacam conditioning (pengondisian) menuju terjadinya perubahan. Ini seperti yang terjadi saat Soeharto dipaksa turun dari jabatannya melalui people power, setelah militer menyatakan berpihak kepada rakyat. Hal yang sama juga terjadi di Tunisia.
Target dari people power pun kadang hanya sekadar mengganti rezim, sementara sistemnya masih tetap sistem lama. Kadang mengganti dua-duanya, sistem dan rezimnya sekaligus. Hanya saja, untuk target kedua ini sangat sulit diwujudkan melalui gerakan people power. Kecuali, jika people power tersebut dibentuk oleh kekuatan umat yang sadar dan menuntut perubahan berdasarkan ideologi Islam yang diyakininya. Kekuatan umat yang sadar ini terbentuk setelah umat dipersiapkan untuk meyakini dan menerima sistem Islam, baik sistem pemerintahannya, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum maupun politik luar negerinya. Menyiapkan umat hingga memiliki kesadaran ideologis ini hanya bisa dilakukan oleh partai politik ideologis.
Kepemimpinan partai ideologis di tengah-tengah umat inilah yang pada akhirnya menentukan kekuatan umat, ketika ideologi partai, yaitu akidah dan sistem yang diembannya telah menjadi ideologi umat dan ketika master plan partai, baik di bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum dan politik luar negerinya, maupun road map untuk mewujudkannya telah diterima dan diyakini oleh umat. Umat yang sadar seperti inilah yang menjadi pondasi dan tonggak perubahan mendasar. Merekalah yang menjadi pilar tegaknya negara. Negara yang dibangun dengan kekuatan umat seperti itu juga merupakan negara yang sangat kuat dan solid. Itulah Negara Khilafah yang kita idamkan.
Namun tetap harus dicatat, bahwa kekuatan umat yang sadar di bawah kepemimpinan partai idoelogis itu saja ternyata belum menjamin kesuksesan peralihan kekuasaan (istilam al-hukm). Terbukti, bahwa sejak dekade awal 50-an abad yang lalu, partai ideologis itu ada dan berkiprah hingga kini, tidak kurang dari 58 tahun, dan umat yang sadar itu pun telah terbentuk di hampir 50 negara lebih, tetapi ternyata peralihan kekuasaan (istilam al-hukm) itu belum terjadi. Ini membuktikan, bahwa kekuatan umat yang sadar ini tidak bisa berdiri sendiri. Ini juga membuktikan, bahwa konsolidasi dua kekuatan, yaitu kekuatan umat yang dipimpin oleh partai ideologis tersebut di satu sisi, dan kekuatan militer (ahl an-nushrah) di sisi lain, mutlak diperlukan untuk menjamin suksesnya peralihan kekuasaan (istilam al-hukm) tersebut.
Sebagaimana kekuatan umat yang sadar tersebut tidak bisa menjamin suksesnya peralihan kekuasaan, maka kekuatan militer juga sama. Sejarah membuktikan, bahwa belum pernah ada kekuatan militer yang bisa memerintah tanpa dukungan partai politik. Apa yang terjadi beberapa tahun lalu di Thailand, ketikan Jenderal Sonti menggulingkan PM Taksin, yang kemudian menyerahkan pemerintahan kepada kekuatan politik partai, adalah bukti bahwa kekuatan militer tidak bisa memerintah sendiri. Hatta junta militer di Myanmar sekalipun, mereka nyatanya tetap membutuhkan partai politik, meski hanya simbolik.
Karena itu, bisa disimpulkan bahwa satu-satunya proses peralihan kekuasaan (istilam al-hukm) yang benar, dan dijamin sukses adalah metode thalab an-nushrah yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Selain sesuai dengan analisis faktual di atas, inilah metode satu-satunya yang ditelah dipraktekkan oleh Rasul ketika menerima kekuasaan dari penduduk Yatsrib (Madinah).
Pihak yang mempunyai kekuatan ketika itu adalah kepala suku dan kabilah, maka kepada merekalah Rasulullah SAW berusaha sungguh-sungguh untuk mendapatkan pertolongan. Rasulullah pernah mendatangi Bani Tsaqif di Thaif, Bani Hanifah, Bani Kalb, Bani Amir bin Sha’sha’ah dan sejumlah kabilah yang lain. Namun, ternyata semuanya menolak. Ada yang menolak dengan keras, bahkan tidak manusiawi, seperti yang beliau alami di Thaif; ada juga yang menolak tanpa syarat, seperti yang beliau alami ketika menyatakan hasrat beliau kepada Bani Hanifah; atau ditolak karena beliau tidak mau mengabulkan syarat mereka, seperti yang beliau alami dari Bani Amir bin Sha’sha’ah.
Keteguhan Nabi melakukan thalab an-nushrah di tengah penolakan yang keras tersebut justru menjadi indikasi, bahwa tindakan beliau ini hukumnya wajib. Alasannya: (1) karena langkah ini beliau lakukan dengan konsisten, apapun dampak dan risikonya; (2) dampak dan risiko yang beliau terima ternyata tetap tidak mengubah konsistensi beliau. Dua hal ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa cara dan langkah tersebut hukumnya memang wajib.
Dalam konteks sekarang, thalab an-nushrah bisa dilakukan terhadap kepala negara, kepala suku dan kabilah, militer serta siapa saja yang mempunyai kekuatan dan pengaruh secara riil di tengah masyarakat. Syaratnya, mereka harus mengimani sistem Islam dan membenarkannya. Ini didasarkan pada riwayat, yang menyatakan, “Beliau pun meminta mereka untuk membenarkan beliau, dan memberikan perlindungan kepadanya.” (Ibn Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, II/36.) Inilah satu-satunya cara yang legal dalam pandangan syariah dalam melakukan perubahan dan membangun pemerintahan Islam. Wallâhu a‘lam.

Minggu, 20 Februari 2011

Adakah Nabi Bayangan ? Soal:

Mencuatnya kembali kasus Ahmadiyah disertai pembelaan kaum Liberal soal kenabian Ghulam Ahmad, bahwa Ghulam Ahmad adalah Nabi bayangan, sebagaimana yang dikatakan Zuhairi Misrawi (Kompas, 16/2/2011). Pertanyaannya, adakah dalam pandangan Islam Nabi bayangan?
Jawab:
Istilah Nabi dan Rasul adalah istilah syar’i, yang makna dan konotasinya telah didefinisikan oleh syariah dalam nas-nas syara’.[1] Menurut Ahlussunnah, seperti al-Baidhawi dan al-Baghdadi, Nabi dan Rasul adalah orang yang sama-sama diberi wahyu oleh Allah. Semua Rasul adalah Nabi, tetapi tidak semua Nabi adalah Rasul. Menurut mereka, Rasul adalah orang yang membawa syariat baru, atau menghapus hukum-hukum syariat sebelumnya.[2]
Karena itu, istilah Nabi dan Rasul adalah istilah khas dengan konotasi khas. Istilah ini tidak boleh digunakan, kecuali dengan konotasi dan konteks sebagaimana yang ditetapkan oleh syariah. Mengenai istilah yang digunakan oleh Zuhairi, bahwa ada Nabi independen (mustaqil), dan Nabi bayangan, maka harus ditegaskan bahwa istilah Nabi independen ini sebenarnya adalah Rasul, karena mereka mempunyai syariat sendiri. Istilah ini digunakan oleh Ismail al-Barwaswi dalam Tafsir Haqqi, Tafsir Tanwir al-Adzhan, dan Ruh al-Bayan.[3] Sementara istilah Nabi bayangan ini hanyalah rekaan kaum Ahmadi untuk menyebut Ghulam Ahmad. Menurutnya, Nabi bayangan ini taat dan patuh kepada Nabi independen, yaitu Nabi Muhammad.
Klaim bahwa Ghulam Ahmad taat dan patuh kepada Nabi Muhammad adalah dusta. Karena, kalau dia taat dan patuh kepada Nabi saw., pasti dia tidak akan mengklaim dirinya sebagai Nabi, baik Nabi bayangan atau Nabi apapun. Sebab, Nabi saw. sendiri sudah menyatakan:
«كَانَ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا مَاتَ نَبِيٌّ قَامَ بَعْدَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ، وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءَ فَيَكْثُرُوْنَ» [رواه البخاري ومسلم واللفظ للبخاري]
“Bani Israil telah dipimpin oleh para Nabi, ketika seorang Nabi wafat, maka setelahnya akan ada Nabi baru yang menggantikannya. Sungguh tidak ada seorang Nabi pun setelahku, dan akan ada banyak khalifah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Pernyataan Nabi saw. yang dengan tegas menafikan, bahwa tidak ada seorang Nabi pun setelah baginda, dengan konstruksi kalimat La an-nafiyah li al-jins (huruf La yang menafikan semua jenis), yaitu Innahu La Nabiyya ba’di (sungguh tidak ada seorang Nabi pun setelahku), disertai dengan ta’kid (penegasan) dengan Inna, menunjukkan bahwa semua jenis kenabian, apakah Nabi independen, Nabi bayangan atau Nabi apapun setelah baginda tidak akan pernah ada. Itulah maksud konstruksi kalimat La an-nafiyah li al-jins.
Hadits ini sekaligus menjelaskan tafsir ayat al-Qur’an:
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.” (Q.s. al-Ahzab [33]: 40)
Ayat ini menyebut Nabi Muhammad sebagai Khatama an-Nabiyyin, yang berarti penutup Nabi-nabi. Bukan konotasi yang lain. Dengan demikian, klaim bahwa Ghulam Ahmad taat dan patuh kepada Nabi Muhammad saw. jelas bohong.
Selain itu, jika ada orang yang mengklaim sebagai Nabi, berarti dia juga telah mengklaim dirinya mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Padahal, secara syar’i wahyu hanya diturunkan oleh Allah SWT. kepada Nabi dan Rasul-Nya. Ibn Hajar al-Asqalani menyatakan:
«وَشَرْعًا الإعْلاَمُ بِالشَّرْعِ وَقَدْ يُطْلَقُ الْوَحْيُ وَيُرَادُ بِهِ اِسْمُ المَفْعُوْلِ مِنْهُ أَيْ الْمُوْحَي وَهُوَ كَلاَمُ اللهِ المُنَزَّلُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم» [رواه البخاري ومسلم واللفظ للبخاري]
“Secara syar’i,  wahyu adalah pemberitahuan mengenai syariat. Kadang disebut dengan istilah wahyu, namun dengan konotasi isim maf’ul-nya, yaitu sesuatu yang diwahyukan, berupa kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.” [4]
As-Suyuthi menyatakan:
«اَلْوَحْيُ مَا يُوْحِيَ اللهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ فَيُثْبِتَهُ فِي قَلْبِهِ، فَيَتَكَلَّمَ بِهِ وَيَكْتُبَهُ وَهُوَ كَلاَمُ الله»
“Wahyu adalah apa yang diwahyukan oleh Allah kepada salah seorang Nabi untuk diteguhkan dalam hatinya, sehingga dia menyampaikannya dan menulisnya. Itulah kalam Allah.” [5]
Dengan demikian, klaim bahwa Ghulam Ahmad adalah Nabi, jelas dusta. Karena dia tidak mendapatkan wahyu, sebagaimana pengertian wahyu secara syar’i. Tentang klaimnya, bahwa dia menerima wahyu sebagaimana yang dituangkan dalam kitabnya, Tadzkirah, juga merupakan kebohongan. Abu Bakar as-Shiddiq menyatakan dengan tegas, wahyu tidak lagi turun pasca wafatnya baginda saw.:
«مَضَىٰ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَانْقَطَعَ الْوَحْيُ»
“Nabi saw. telah pergi (wafat), dan wahyu pun terputus (berhenti).” [6]
Dalam riwayat lain, ‘Umar menyatakan:
«أَلاَ وَإِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَدِ انْطَلَقَ وَانْقَطَعَ الْوَحْيُ»
“Ingat, bahwa Nabi saw. telah berlalu (wafat), dan wahyu pun telah terputus (berhenti).” [7]
Ini dinyatakan di hadapan para sahabat, di depan mata dan telinga mereka, dan  tidak seorang pun di antara mereka ada yang mengingkarinya. Dengan kata lain, telah menjadi Ijmak Sahabat, bahwa wahyu tidak akan turun lagi setelah baginda saw. wafat. Karena itu, jika ada klaim bahwa ada orang yang menerima wahyu, setelah Nabi saw. wafat, berarti klaim tersebut bertentangan dengan Ijmak Sahabat di atas.
Klaim Ghulam Ahmad sebagai Nabi juga meniscayakan dirinya harus ma’shum (tidak berdosa). Karena, nubuwwah (kenabian) tersebut meniscayakan harus ma’shum. Fakta membuktikan, bahwa Ghulam Ahmad tidak ma’shum, bahkan bukan saja berdosa besar, tetapi telah murtad. Pandangannya yang menyatakan dirinya Nabi, haji ke Baitullah - Makkah dan zakat tidak wajib adalah bukti yang tak terbantahkan.
Karena itu, semua klaim yang menyatakan, bahwa Ghulam Ahmad adalah Nabi bayangan adalah batil, sesat dan menyesatkan. Demikian juga, klaim yang menyatakan, bahwa Ghulam Ahmad sebagai Nabi bayangan yang taat dan tunduk kepada Nabi Muhammad, dan tidak membawa syariat baru, adalah klaim yang juga batil, sesat dan menyesatkan. Begitu juga klaim yang menyatakan, bahwa Ghulam Ahmad menerima wahyu juga merupakan klaim batil, sesat dan menyesatkan.  Wallahu Rabb al-musta’an wa ilahi at-takilan. (Hafidz Abdurrahman)

[1] Al-Qur’an telah menggunakan lafadz an-Nabi sebanyak 31 kali, dengan konotasi orang yang diutus oleh Allah SWT. Sedangkan lafadz ar-Rasul digunakan sebanyak 56 kali, dan Rasul-Llah sebanyak 17 kali.
[2] Al-Imam Abi Manshur ‘Abd al-Qahir bin Thahir at-Tamimi al-Baghdadi, Kitab Ushul ad-Din, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, cet. III, 1981, hal. 154; al-Imam Nashiruddin al-Baidhawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, Dar al-Fikr, Beirut, Lebanon, t.t., juz IV, hal. 57.
[3] Ismail al-Barwaswi, Tafsir Haqqi, Dar as-Salafiyyah, India, cet., t.t., Juz IX, hal. 311; Ismail al-Barwaswi, Tafsir Tamwir al-Adzhan; Ismail al-Barwaswi, Tafsir Haqqi, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, cet., 1985, Juz VI, hal. 266;
[4] Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, ed. Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi Muhibbuddin al-Khathib, Dar al-Ma’rifat, Beirut, 1379 H, Juz I, hal. 9.
[5] Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., Juz I, hal. 45.
[6] Jalaluddin as-Suyuthi, Jami’ al-Masanid wa al-Marasil, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, Juz XIII, hal. 187.
[7] Jalaluddin as-Suyuthi, Jami’ al-Masanid wa al-Marasil, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, Juz XV, hal. 76.

Kepada Uang Hukum Bersujud

Editorial sebuah media masa nasional memberikan julukan baru untuk Indonesia: negeri lelucon! Julukan ini melengkapi gelar-gelar sebelumnya mulai dari negara gagal, negara para koruptor sampai yang sangat keras: negara biadab! Betapa tidak, di negeri lelucon ini seorang tersangka penggelap pajak biasa berkeliaran bebas bertamasya; bukan hanya Bali, tetapi sampai ke Kuala Lumpur dan Makau.
Gayus membuktikan prinsip penting Kapitalisme: uang bisa membeli segalanya. Prinsip ini melahirkan realita: kepada uang hukum bersujud, yang melumpuhkan pilar-pilar hukum mulai dari polisi, jaksa hingga hakim. Dengan kekuatan uang pula, seorang terpidana di di Bojonegoro, Jawa Timur, dengan mudahnya membayar seluruh otoritas penegakan hukum untuk menggantikannya masuk bui. Ini melengkapi lelucon sebelumnya saat Ayin membawa pembantu dan perawat kecantikannya ke penjara yang ia sulap menjadi kamar mewah.
Di negeri lelucon ini pula, terdakwa korupsi yang tengah mendekam di Penjara Cipinang, Jefferson Rumajar dilantik sebagai walikota Tomohon, Sulawesi Utara. Sang walikota pun dengan gagah tanpa malu melantik pejabat bawahannya. Semua itu difasilitasi oleh negara.
Kondisi berbeda dialami oleh terdakwa rakyat biasa; babak belur dihajar di penjara, terpaksa tinggal di kamar penjara kelas murah karena tak punya uang, tentu dengan fasilitas serba buruk. Demikian pula yang dialami terdakwa ‘teroris’ yang penuh rekayasa. Seperti yang dikatakan Mahendradata (Dewan Pembina Tim Pembela Muslim), jangankan bisa keluar-masuk sampai 68 kali seperti Gayus, hanya untuk menerima jengukkan sama sekali tak mudah. Contoh kasus, sekadar untuk bertemu dengan perempuan lemah yang tertembak kakinya, Putri Munawarroh, harus melalui sekian banyak izin sampai ke tingkatan jenderal.
Berulang-ulang kita menyatakan, semua ini berpangkal pada sistem Kapitalisme yang menjadikan uang sebagai tuhan baru. Semuanya bersujud kepada uang. Hukum bisa dibuat, diatur dan direkayasa dengan kekuatan uang. Aparat pun tunduk kepada uang.
Terjadi pula politik transaksional dengan prinsip ‘politic to money, money to politic’. Demikian terus berputar, bagaikan lingkaran setan.
Bisakah Islam menuntaskan semua persoalan ini? Jelas bisa! Sebab, Islam adalah petunjuk dari Allah SWT bagi manusia untuk menyelesaikan persoalan hidup mereka. Islam telah menetapkan tiga pilar penting untuk membangun sistem yang bersih dan adil. Pertama: ketakwaan kepada Allah SWT. Seperti yang diungkapkan oleh Imam Hasan al-Bashri, takwa adalah takut dan menghindari apa saja yang Allah haramkan serta menunaikan apa saja yang Dia wajibkan. Dengan ketakwaan, seorang akan takut berbuat maksiat dan kejahatan. Sebab, dia tahu ada Allah SWT yang mengawasi dirinya dan ada hari pertanggung jawaban saat dia akan menerima konsekuensi atas segala tindakannya.
Masalahnya, ketakwaan inilah yang dikikis habis dalam sistem Kapitalisme. Dengan prinsip sekularisme, agama dijadikan hanya untuk urusan pribadi. Sebaliknya, masalah hukum, politik dan ekonomi tidak tersentuh aturan Allah SWT. Munculah pribadi-pribadi yang (kelihatan) hanya takut kepada Tuhan saat dia shalat atau di masjid, namun mencampakkan hokum-hukum-Nya saat di luar masjid, ketika berekonomi atau berpolitik.
Kedua: penegakkan hokum oleh negara. Hukum dibutuhkan untuk mengatur manusia, mencegah penyimpangan, memberikan efek jera dan memberikan keadilan. Namun, tegaknya hukum sangat bergantung pada substansi hukumnya, apakah benar atau tidak, dan bagaimana hukum itu diterapkan.
Masalahnya, dalam sistem Kapitalisme, selain dalam tataran pelaksanaannya, substansi hukumnya sendiri bermasalah. Sumber hukum tertinggi dalam demokrasi merujuk pada hawa nafsu dan akal terbatas manusia. Hukum kemudian tunduk pada segala kepentingan pribadi keluarga, kelompok, atau partai. Karena dalam Kapitalisme uang atau kapital adalah segalanya, jadilah mencari uang sebanyak-banyuk menjadi tujuan dari hukum. Senjata untuk mewujudkan semua itu lagi-lagi adalah kekuatan uang.
Sebaliknya, dalam Islam sumber hukum sejati adalah Allah SWT. Segala sesuatu dinilai berdasarkan halal dan haram sesuai al-Quran dan as-Sunnah. Segala bentuk interest, hawa nafsu manusia, harus tunduk pada hukum Alah SWT; bukan sebaliknya. Hal ini dipastikan akan memberikan kebaikan kepada manusia. Sebab hukum tersebut bersumber dari Allah yang Mahaadil dan Mahasempurna. Kebaikan hukum Allah SWT bukan hanya untuk segelintir orang, tetapi untuk seluruh manusia, Muslim atau non-Muslim (rahmatan lil ‘alamin).
Ketiga: amar makruf nahi mungkar. Manusia mungkin saja keliru. Manusia mungkin saja menyimpang dari aturan Allah SWT. Karena itulah, amar makruf nahi mungkar sangat penting dalam sebuah masyarakat. Tanpa ada pemimpin yang mengkoreksi, rakyat mungkin saja terjerumus dalam kesalahan. Demikian juga sebaliknya; tanpa ada koreksi dari rakyat, pemimpin akan selalu merasa benar sendiri, akhirnya bersikap otoriter.
Kewajiban mengoreksi penguasa bahkan disebut oleh Rosululah SAW sebagai afdhal al-jihad (jihad terbaik) dan siapapun yang terbunuh karenanya diberi gelar sayyid asy-syhada’ (pemimpin para syuhada).
Muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) menjadi sangat penting. Sebab, kekeliruan kebijakan penguasa akan memberikan dampak yang sistematis dan berpengaruh luas di tengah-tengah masyarakat, seperti kebijakan kenaikan BBM yang berdampak luar biasa menambah beban derita rakyat. Karena itu, dalam Islam ruang bagi keberadaan kelompok atau partai yang bertugas mengoreksi penguasa diberikan seluas-luasnya. Mengoreksi penguasa dalam Islam didasarkan pada keimanan dan kecintaan; agar penguasa itu tetap on the track dalam kebijakannya. Dasarnya adalah al-Quran (QS Ali Imran: 104), yakni dakwah Islam dan amar makruf nahi mungkar.
Ketiga pilar inilah yang akan mengubah Indonesia dari negara lelucon, menjadi negara sejati. Rakyat pun akan mendapat keadilan hukum, politik yang menjadi pelayan rakyat dan ekonomi yang mensejahterakan. Namun, tiga pilar ini hanya akan terwujud secara sempurna dalam sistem Khilafah sebagai institusi politiknya. [Farid Wadjdi]

Mengatasi Seks Bebas

Belum hilang dari ingatan kita kasus video mesum Ariel Peterpan dengan dua teman wanitanya, Luna Maya dan Cut Tari, yang persidangannya belum selesai sampai saat ini, kita dihebohkan lagi oleh hasil laporan survei Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang melaporkan 51 persen remaja di Jabodetabek telah melakukan seks pranikah. Hasil yang sama juga terjadi di kota-kota besar lainnya seperti di Surabaya tercatat 54 %, di Bandung 47 %, dan 52 % di Medan. Bahkan di Yogya tercatat dari 1.160 mahasiswa sekitar 37 % mengalami kehamilan sebelum menikah. Walhasil akibat dari perilaku ini, berdasarkan data Kemenkes pada akhir Juni 2010 terdapat 21.770 kasus AIDS dan 47.157 kasus HIV positif dengan persentase pengidap usia 20-29 tahun yakni 48,1 % dan usia 30-39 tahun sebanyak 30,9 % (http://nasional.tvone.co.id). Tak hanya itu kasus aborsi di Indonesia setiap tahun mencapai angka 2,5 juta dan pelaku umumnya berada pada kisaran usia 20-29 tahun (http://news.okezone.com).
Sungguh ironis, negeri yang dikenal dengan penduduk Muslim terbesar di dunia ternyata memiliki pesoalan yang semestinya dihadapi oleh negara yang penduduknya jauh dari nilai-nilai Islam. Sekularisme yang melahirkan kebebasan atas nama HAM yang sejatinya jauh dari Islam terah mendarah daging negeri ini. Seks bebas yang menjangkiti generasi muda bangsa ini seolah-olah telah tersistem dengan rapi mulai dari perundang-undangannya, sosial masyarakatnya bahkan pendidikannya seolah-olah menyuburkan seks bebas. Bisa kita lihat RUU Anti Pornoaksi/grafi disahkan dengan menghilangkan kata anti yang mengisyaratkan pornoaksi/grafi tidak dilarang dengan mutlak, tetapi sekadar diatur.
Indonesia menjadi pengakses industri porno nomor satu di dunia dan akses masyarakat Indonesia terhadap nama-nama bintang porno terekam oleh googletrends menempati peringkat 1 di dunia selama 3 tahun berturut-turut sampai tahun ini. Kampanye pemakaian kondom untuk mencegah HIV/AIDS yang sejatinya kampanye penyuburan seks bebas terus dilakukan berbagai pihak tidak terkecuali oleh Pemerintah, padahal secara ilmiah kondom tidak bisa mencegah HIV/AIDS karena diameter pori-pori kondom lebih besar dari pada diameter virus itu sendiri.
Begitulah aturan atau hukum yang bersumber dari manusia, bukan malah mengatasi masalah malah menimbulkan masalah baru. Sudah saatnya kita kembali pada aturan dari Yang Mahabenar, Dialah Allah SWT.
Islam bukan sekadar agama ritual saja melaikan juga mempunyai seperangkat aturan yang lengkap yang mengatur seluruh alam. Islam tidak hanya mempunyai aturan yang tegas terhadap pelaku seks bebas, tetapi juga cara mencegahnya. Hukum Islam baru dapat dirasakan cahayanya jika diterapkan secara kaffah. Hanya Daulah Khilafahlah satu-satunya yang bisa menerapkan Islam secara kaffah dan menjadi penjaganya. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. [Ancah Suroso; Kordinator BKLDK F.T.Unesa, Tim Redaksi Dakwahkampus.com]

BBM Bisa Murah

Pemerintah akan mengurangi subsidi BBM dengan melarang mobil pribadi menggunakan BBM bersubsidi. Kebijakan tersebut akan secara bertahap dimulai bulan Maret 2011 di Jabodetabek hingga mencakup seluruh Indonesia pada 2013.
Alasan klasik yang diungkapkan Pemerintah dalam melakukan pembatasan BBM bersubsidi ini adalah untuk mengurangi Beban APBN. Menurut Pemerintah, pada tahun 2011 saja dana yang dapat dihemat dari kebijakan tersebut sebesar Rp 3,8 triliun.
Alasan tersebut sebenarnya merupakan kebohongan publik yang terus-menerus dilakukan. Faktanya, berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi belanja APBN 2010 baru mencapai 56,01 persen dari pagu anggaran APBN-P 2010 sebesar Rp 993,136 triliun atau sekitar Rp 556,285 triliun per 22 November 2010. Artinya, sampai November 2010 masih ada dana yang belum terserap sebanyak 437 T, sementara penghematan subsidi hanya Rp 3,8 T. Itu pun akan berkurang menjadi 3,2 T karena pembatasan BBM bersubsidi di undur Maret 2011. Jelas sangat ironis?
Oleh karena itu, alasan sebenarnya dari pembatasan BBM bersubsidi adalah karena pengelolaan BBM menggunakan paradigma Kapitalisme dan untuk memenuhi kepentingan para kapitalis.
BBM Milik Rakyat
Dalam pandangan Islam, BBM dan Gas serta sumber energi lainnya merupakan milik umum atau milik rakyat yang wajib dikelola oleh Negara. Rasulullah saw. telah menjelaskan sifat kebutuhan umum tersebut dalam sebuah hadis. Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
اَلنَّاسُ شُرَكَاءٌ فِي ثَلاَثٍ: اَلْمَاءِ وَ الْكَلأِ وَ النَّارِ
Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api (HR Abu Dawud).
Anas ra. juga meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas ra. tersebut dengan menambahkan: wa tsamanuhu haram (dan harganya haram); yang berarti dilarang untuk diperjualbelikan.
Barang-barang tambang seperti minyak bumi besarta turunannya seperti bensin, gas, dan lain-lain (termasuk juga listrik, hutan, air, padang rumput, api, jalan umum, sungai, dan laut) semuanya telah ditetapkan syariah sebagai kepemilikan umum. Negara mengatur produksi dan distribusi aset-aset tersebut untuk rakyat. Pengelolaan kepemilikan umum oleh Negara dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat umum.
Air, padang rumput, api, jalan umum, laut, samudera, sungai besar, adalah benda-benda yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Siapa saja dapat mengambil air dari sumur, mengalirkan air sungai untuk pengairan pertanian, juga menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput milik umum. Dalam konteks ini negara tetap mengawasi pemanfaatan milik umum ini agar tidak menimbulkan kemadaratan bagi masyarakat.
2. Pemanfaatan di bawah pengelolaan Negara.
Kekayaan milik umum yang tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu masyarakat—karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi, serta biaya yang besar—seperti minyak bumi, gas alam, dan barang tambang lainnya, maka negaralah yang berhak untuk mengelola dan mengeksplorasi bahan tersebut. Hasilnya dimasukkan ke dalam Kas Negara (Baitul Mal). Khalifah adalah pihak yang berwenang dalam pendistribusian hasil tambang dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya demi kemashlahatan umat.
Dalam mengelola kepemilikan tersebut, negara tidak boleh menjualnya kepada rakyat—untuk konsumsi rumah tangga—dengan mendasarkan pada asas mencari keuntungan semata. Harga jual kepada rakyat hanya sebatas harga produksi. Namun, boleh menjualnya dengan mendapatkan keuntungan yang wajar darinya jika dijual untuk keperluan produksi komersial.
Adapun jika kepemilikan umum tersebut dijual kepada pihak luar negeri, maka boleh pemerintah mencari keuntungan semaksimal mungkin. Hasil keuntungan penjualan kepada rakyat untuk kepentingan produksi komersial dan ekspor ke luar negeri digunakan: Pertama, dibelanjakan untuk segala keperluan yang berkenaan dengan kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk untuk mengelola harta pemilikan umum, baik dari segi administrasi, perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemasaran dan distribusi. Kedua, dibagikan kepada kaum Muslim atau seluruh rakyat. Dalam hal ini Pemerintah boleh membagikan air minum, listrik, gas, minyak tanah dan barang lain untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar secara gratis atau menjualnya dengan semurah-murahnya, atau dengan harga wajar yang tidak memberatkan. Barang-barang tambang yang tidak dikonsumsi rakyat, misalnya emas, perak, tembaga, batubara dapat dijual ke luar negeri dan keuntungannya—termasuk keuntungan pemasaran dalam negeri—dibagi keseluruh rakyat, dalam bentuk uang, barang, atau untuk membangun sekolah-sekolah gratis, rumah-rumah sakit gratis, dan pelayanan umum lainnya.
Mewujudkan BBM Murah
Bahan Bakar menjadi mahal sebenarnya bersumber dari kekeliruan dalam kebijakan politik APBN dan carut-marutnya pengelolan Migas saat ini. Kebijakan APBN selama ini selalu menganggap subsidi BBM sebagai beban. Padahal sebenarnya istilah tersebut tidak tepat karena itu adalah kewajiban negara dalam menjalankan fungsinya, Justru yang selama ini menjadi beban APBN adalah Bunga Utang Luar Negeri dan Pokoknya. Hampir setiap tahun APBN kita digerogoti oleh Bunga dan Utang Luar Negeri (rata-rata di atas 25 %; lihat tabel 1). Sebagian besar utang tersebut dinikmati para kapitalis melalui dana rekapitulasi perbankan dan para koruptor (30 % dana utang luar negeri dikorupsi). Adapun dana subsidi hanya kurang dari 15% dan itu pun untuk seluruh rakyat Indonesia.
Tabel 1: APBN, Subsidi Energi dan Utang Luar Negeri
APBN
Subsidi Energi
Utang Luar Negeri
Tahun
Nominal
Nominal
%
Nominal
%
2005
495
104
21
127
26
2006
637
95
15
157
25
2007
707
117
16
181
26
2008
981
223
23
192
20
2009
848
95
11
210
25
2010
992
143
14
230
23
Adapun karut-marutnya pengelolaan BBM akibat liberalisasi Migas telah menyebabkan Sumber Migas saat ini hampir 90% dikuasai Asing dan Mafia Rente yang mengambil untung dalam pengelolaan dan distribusi BBM. Menurut sejumlah sumber termasuk temuan BPK tahun 20081 disebutkan sumber inefisiensi Pertamina antara lain: (a) pengadaan minyak mentah dan BBM yang tidak efisien. Hal ini karena Pertamina cenderung mengimpor minyak mentah dan BBM melalui jasa rekanan yang sarat dengan manipulasi tender oleh pihak Pertamina dengan para trader sehingga biaya pengadaan minyak impor semakin mahal bahkan sejumlah pengadaan melalui penunjukan langsung biayanya lebih mahal; (b) Pertamina lebih banyak menggunakan kapal sewa daripada kapal milik sendiri sehingga biaya angkut lebih mahal.
Oleh karena itu, agar BBM murah yang harus dilakukan adalah mengembalikan pengelolaan BBM sesuai dengan syariah melalui kebijakan APBN dan perubahan kebijakan di bidang Migas.
Kebijakan (Politik) APBN
Selama ini pendanaan selalu menjadi alasan minimnya eksplorasi Migas sehingga produksi menurun. Jelas alasan ini tidak benar. Yang sebenarnya adalah masalah prioritas Kebijakan APBN yang salah. Kebijakan APBN seharusnya menjadikan semua pengelolaan Migas dikuasai oleh negara sehingga hasilnya masuk APBN. Di sinilah pentingnya membatalkan UU Migas yang menjadi dasar liberalisasi/swastanisasi Migas.
Masalahnya juga keterbatasan dana, tetapi masalah prioritas yang salah. Mengapa untuk dana rekapitulasi perbankan yang ratusan triliun bisa disediakan, sementara untuk eksplorasi BBM yang menyangkut industri strategis dan kebutuhan publik selalu dibatasi.
Fakta menunjukkan, keterbatasan eksplorasi Migas oleh Pertamina sebenarnya bukan karena faktor dana, tetapi keberpihakan Pemerintah yang salah. Dalam Kasus Blok Cepu yang cadangannya lebih dari 10 miliar barel, secara dana Pertamina siap menyediakan dengan dana investasi dalam negeri. Namun, justru Pemerintah menyerahkan eksplorasi Blok Cepu kepada Perusahaan Amerika, yaitu Exxon Mobile.
Profesionalisme Pengelolaan Migas
Ada 2 hal yang terkait dengan pengelolaan Migas yang menyebabkan harga BBM mahal, yaitu masalah produksi dan distribusi. Masalah produksi sering dikaitkan dengan kemampuan teknologi eksplorasi yang masih belum mampu. Alasan ini juga tidak tepat karena eksplorasi Migas itu ada 2 bentuk: eksplorasi di darat dan di lepas pantai. Untuk eksplorasi di darat Pertamina dengan tenaga-tenaga ahlinya dari dalam negeri sudah mampu mendeteksi dan mengekplorasinya tanpa hambatan. Penemuan cadangan minyak di Blok Cepu adalah tenaga ahli dari Pertamina dan Pertamina menyatakan mampu secara teknologi untuk mengekplorasi-nya tanpa bantuan asing. Namun, karena tekanan Amerika maka dengan begitu mudahnya Blok Cepu tersebut diserahkan kepada Exxon Mobile.
Adapun eksplorasi di lepas pantai (laut). maka menurut BPPT memang saat ini belum mampu dilakukan oleh Pertamina. Namun, yang jadi masalah, mengapa setelah puluhan tahun kok belum mampu? Sebenarnya ketidak-mampuan Pertamina melakukan eksplorasi di laut dalam bukan karena SDM yang tidak mampu. Namun, banyak SDM Indonesia yang bekerja di Perusahaan Asing baik di Indonesia maupun di Luar negeri karena gajinya lebih besar. Misal, ada staf Bakosurtanal yang pernah bekerja di perusahaan marine hidrography untuk memasang oil-rig atau pipeline. Juga ada sebagian SDM Pertamina keluar dan pindah ke Perusahaan Asing seperti Arco yang banyak melakukan eksplorasi di Laut Jawa. Jadi Pernyataan BPPT bahwa Pertamina belum mampu sebenarnya bukan faktor Teknologi dan SDM kita yang tidak mampu, tetapi kebijakan Pertamina atau Pemerintah yang memang tidak pernah serius melakukan itu. Akibatnya, tidak ada upaya transfer teknologi dari perusahaan asing. Padahal selama ini salah satu alasan kerjasama dengan perusahaan asing adalah alih teknologi. Kalaupun saat ini belum mampu sebenarnya Pemerintah (negara) bisa menyewa tenaga ahli di bawah kendali Pemerintah atau Pertamina, bukan menyerahkan eksplorasi tersebut kepada perusahaan asing.
Adapun masalah distribusi seperti temuan BPK, Pertamina lebih banyak menggunakan kapal sewa daripada kapal milik sendiri sehingga biaya angkut lebih mahal, dari 137 Kapal yang dioperasikan Pertamina, 102 di antaranya disewa dari perusahaan lain.2 Yang lebih aneh bahkan cenderung tidak rasional bahkan bodoh adalah kebijakan Pemerintah melakukan Pemecahan Pertamina (unbandling) menjadi perusahaan-perusahaan kecil. Di Industri Hulu dipecah menjadi PT Pertamina, PT Pertamina Hulu Energi, PT Pertamina Geothermal, PT Pertamian Drilling Service dan PT PTC. Industri Hilir adalah PT Limited Petral dan PT Patra Niaga. Padahal unbundling ini akan menambah biaya dan memperpanjang rantai pemasaran sehingga harga akhir menjadi mahal. Apalagi tren perusahaan dunia saat ini adalah merger untuk tujuan efesiensi; misalnya Standar oil of New Jersey dan Anglo-American bergabung menjadi Exxon; Standar Oil of New York dan Vaccum Oil menjadi Mobile. Setelah itu Exxon dan Mobile bergabung menjadi Exxon Mobile.
Penutup
Itulah mekanisme agar BBM murah, yaitu kebijakan APBN yang sesuai syariah serta pengelolaan Pertamina yang professional; bebas dari korupsi dan mafia rente. Kalau BBM dijual kepada rakyat berdasarkan harga pokok maka harganya murah. Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan keuangan Pertamina (lihat Tabel 2 diatas), harga pokok produksi BBM sangat rendah yaitu Rp 804 (bahkan bisa lebih rendah dari itu karena biaya cost recovery Pertamina untuk mendapatkan Minyak Mentah lebih tinggi dibandingkan Perusahaan Minyak Lain dan komponen biaya lainnya juga boros). Namun, harganya menjadi mahal ketika Pemerintah menggunakan asumsi harga internasional, misalnya dengan asumsi Harga Minyak Mentah US$ 50 harga pokok BBM menjadi Rp 3.220 dan Rp 5.500 kalau harga minyak mentah internasional US$ 90.
Tabel 2: Harga Pokok Produksi BBM
KOMPONEN BIAYA
HARGA PRODUKSI
HARGA INTERNASIONAL
US$/bbl
Rp/L
US$/bbl
Rp/L
US$/bbl
Rp/L
Minyak Mentah
10,00*
589
50,0
3.005
90,0
5.303
Pengolahan
1,53
90
1,5
90
1,5
90
Angkutan Laut
0,80
47
0,8
47
0,8
47
Distribusi
0,97
57
1,0
57
1,0
57
Bunga, Kantor Pusat & Penyusutan
0,00
20
0,0
20
0,0
20
JUMLAH BIAYA POKOK BBM
13,30
804
53,3
3.220
93,3
5.517
Sumber: Laporan Keuangan Pertamina (diolah kembali)
Berdasarkan perhitungan tersebut maka harga jual BBM untuk kepentingan konsumsi rakyat sebesar Rp 805, sementara untuk untuk keperluan produksi komersial dalam negeri boleh mengambil keuntungan sewajarnya. Adapun untuk dijual keluar negeri boleh mengambil untung sebesar-besarnya.
Namun, Pemerintah kita memang aneh. Untuk keperluan rakyat sendiri dijual dengan harga yang sangat mahal, tetapi kalau untuk asing dijual dengan harga yang sangat murah. Wallahu a’lam bi ash-shawab. []
Catatan kaki:
1 BPK, Pengadaan Minyak Mentah dan Produk Kilang Tahun 2007 dan 2008 (Semester I) pada Pertamina.
2 Pertamina, Annual Report 2007.

Maulid Nabi SAW: Simbol Kelahiran Masyarakat Baru

Tak terasa, kita kembali ada di bulan Rabiul Awwal, yang diyakini oleh kaum Mjuslim sebagai bulan kelahiran Baginda Rasulullah saw. Seperti biasa, Peringatan Hari Kelahiran Baginda Rasulullah saw. Muhammad—atau dikenal dengan Peringatan Maulid Nabi saw.—ramai diselenggarakan oleh kaum Muslim di berbagai tempat, khususnya di Tanah Air.
Namun demikian, tanpa mengurangi sikap pengagungan kita terhadap Baginda Rasulullah saw., kelahiran seorang manusia—termasuk beliau—sebetulnya merupakan perkara yang biasa saja. Bagaimana tidak? Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit dunia ini tidak henti-hentinya menyambut kelahiran bayi-bayi manusia yang baru. Karena perkara yang biasa-biasa saja, tidak terasa bahwa dunia ini telah dihuni lebih dari 6 miliar jiwa.
Karena itulah, barangkali, Nabi kita, Rasulullah Muhammad saw. tidak menjadikan hari kelahirannya sebagai hari yang istimewa, atau sebagai hari yang setiap tahunnya harus diperingati. Keluarga beliau, baik pada masa Jahiliah maupun pada masa Islam, juga tidak pernah memperingatinya. Padahal beliau adalah orang yang sangat dicintai oleh keluarganya. Mengapa? Sebab, dalam tradisi masyarakat Arab, baik pada zaman Jahiliah maupun zaman Islam, peringatan atas hari kelahiran seseorang tidaklah dikenal.
Bagaimana dengan para Sahabat beliau? Kita tahu, tidak ada seorang pun yang cintanya kepada Nabi Muhammad saw. melebihi kecintaan para Sahabat kepada beliau. Dengan kata lain, di dunia ini, para Sahabatlah yang paling mencintai Nabi Muhammad saw.
Namun demikian, peringatan atas kelahiran (maulid) Nabi Muhammad saw. juga tidak pernah dilakukan para Sahabat beliau itu; meskipun dengan alasan untuk mengagungkan beliau. Wajar jika dalam Sirah Nabi saw. dan dalam sejarah otentik para sahabat beliau, sangat sulit ditemukan fragmen Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw., baik yang dilakukan oleh Nabi saw. sendiri maupun oleh para Sahabat beliau.
Bahkan ketika Khalifah Umar bin al-Khaththab bermusyawarah mengenai sesuai yang sangat penting dengan para sahabat, yakni mengenai perlunya penanggalan Islam, mereka hanya mengemukakan dua pilihan, yakni memulai tahun Islam dari sejak diutusnya Muhammad sebagai rasul atau sejak beliau hijrah ke Madinah. Akhirnya, pilihan Khalifah Umar—yang disepakati para sahabat—jatuh pada yang terakhir. Khalifah Umar beralasan, Hijrah adalah pembeda antara yang haq dan yang batil. (Ath-Thabari, Târîkh ath-Thabari, 2/3). Saat itu tidak ada seorang sahabat pun yang mengusulkan tahun Islam dimulai sejak lahirnya Nabi Muhammad saw.
Demikian pula ketika mereka bermusyawarah tentang dari bulan apa tahun Hijrah dimulai; mereka pun hanya mengajukan dua alternatif, yakni bulan Ramadhan dan bulan Muharram. Pilihan akhirnya jatuh pada yang terakhir, karena bulan Muharram adalah bulan ketika orang-orang kembali dari menunaikan ibadah haji, dan Muharram adalah salah satu bulan suci. (Ath-Thabari, ibid.). Saat itu pun tidak ada yang mengusulkan bulan Rabiul Awwal, bulan lahirnya Rasulullah saw., sebagai awal bulan tahun Hijrah.
Realitas tersebut, paling tidak, menunjukkan bahwa para sahabat sendiri tidak terlalu ‘memandang penting’ momentum hari dan tahun kelahiran Nabi Muhammad saw., sebagaimana orang-orang Kristen memandang penting hari dan tahun kelahiran Isa al-Masih, yang kemudian mereka peringati sebagai Hari Natal.
Itu membuktikan bahwa para sahabat bukanlah orang-orang yang biasa mengkultuskan Nabi Muhammad saw., sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan Isa as. Hal itu karena mereka tentu sangat memahami benar sabda Nabi Muhammad saw. sendiri yang pernah menyatakan:
لاَ تُطْرُوُنِى كمَا أَطْرَتِ النَصَارَى إِبْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ
Janganlah kalian mengkultuskan aku sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan putra Maryam (Isa as.), karena sesungguhnya aku hanya sekadar seorang hamba-Nya. (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Memang, sebagaimana manusia lainnya, secara fisik atau lahiriah, tidak ada yang istimewa pada diri Muhammad saw. sebagai manusia, selain beliau adalah seorang Arab dari keturunan yang dimuliakan di tengah-tengah kaumnya. Wajarlah jika Allah Swt., melalui lisan beliau sendiri, berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ…
Katakanlah, “Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian…” (QS Fushshilat [41]: 6).
Lalu mengapa setiap tahun kaum Muslim saat ini begitu antusias memperingati Maulid Nabi Muhammad saw.; sesuatu yang bahkan tidak dilakukan oleh Nabi saw. sendiri dan para sahabat beliau?
Berbagai jawaban atau alasan dari mereka yang memperingati Maulid Nabi Muhammad saw. biasanya bermuara pada kesimpulan, bahwa Muhammad saw. memang manusia biasa, tetapi beliau adalah manusia teragung, karena beliau adalah nabi dan rasul yang telah diberi wahyu; beliau adalah pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam. Karena itu, kelahirannya sangat layak diperingati.
Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. sendiri tidak lain merupakan sebuah sikap pengagungan dan penghormatan (ta‘zhîman wa takrîman) terhadap beliau dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul; sebagai pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam.
Walhasil, jika memang demikian kenyataannya, kita dapat memahami makna Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. yang diselenggarakan setiap tahun oleh sebagian kaum Muslim saat ini, yakni sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan beliau dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul Allah.
Itulah yang menjadikan beliau sangat istimewa dibandingkan dengan manusia yang lain. Keistimewaan beliau tidak lain karena beliau diberi wahyu oleh Allah Swt., yang tidak diberikan kepada kebanyakan manusia lainnya. Allah Swt. berfirman (masih dalam surah dan ayat yang sama):
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ
Katakanlah, “Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian. (Hanya saja) aku telah diberi wahyu, bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, tetaplah kalian istiqamah pada jalan yang menuju kepada-Nya. (QS Fushshilat [41]: 6).
Makna Kelahiran Muhammad saw.
Kelahiran Muhammad saw. tentu tidaklah bermakna apa-apa seandainya beliau tidak diangkat sebagai nabi dan rasul Allah, yang bertugas untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada umat manusia agar mereka mau diatur dengan aturan apa saja yang telah diwahyukan-Nya kepada Nabi-Nya itu.
Karena itu, Peringatan Maulid Nabi saw. pun tidak akan bermakna apa-apa—selain sebagai aktivitas ritual dan rutinitas belaka—jika kaum Muslim tidak mau diatur oleh wahyu Allah, yakni al-Quran dan as-Sunnah, yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad saw. ke tengah-tengah mereka. Padahal, Allah Swt. telah berfirman:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah; apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah. (QS al-Hasyr [59]: 7).
Lebih dari itu, pengagungan dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad saw., yang antara lain diekspresikan dengan Peringatan Maulid Nabi saw., sejatinya merupakan perwujudan kecintaan kepada Allah, karena Muhammad saw. adalah kekasih-Nya.
Jika memang demikian kenyataannya maka kaum Muslim wajib mengikuti sekaligus meneladani Nabi Muhammad saw. dalam seluruh aspek kehidupannya, bukan sekadar dalam aspek ibadah ritual dan akhlaknya saja. Allah Swt. berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي
Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku.” (QS Ali Imran [3]: 31).
Dalam ayat di atas, frasa fattabi‘ûnî (ikutilah aku) bermakna umum, karena memang tidak ada indikasi adanya pengkhususan (takhshîsh), pembatasan (taqyîd), atau penekanan (tahsyîr) hanya pada aspek-aspek tertentu yang dipraktikkan Nabi saw.
Di samping itu, Allah Swt. juga berfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Sesungguhnya engkau berada di atas khuluq yang agung. (QS al-Qalam [68]: 4).
Di dalam tafsirnya, Imam Jalalin menyatakan bahwa kata khuluq dalam ayat di atas bermakna dîn (agama, jalan hidup) (Lihat: Jalalain, Tafsîr Jalâlayn, 1/758). Dengan demikian, ayat di atas bisa dimaknai: Sesungguhnya engkau berada di atas agama/jalan hidup yang agung.
Tegasnya, menurut Imam Ibn Katsir, dengan mengutip pendapat Ibn Abbas, ayat itu bermakna: Sesungguhnya engkau berada di atas agama/jalan hidup yang agung, yakni Islam (Lihat: Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, 4/403). Ibn Katsir lalu mengaitkan ayat ini dengan sebuah hadis yang meriwayatkan bahwa Aisyah istri Nabi saw. pernah ditanya oleh Sa’ad bin Hisyam mengenai akhlak Nabi saw. Aisyah lalu menjawab:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
Sesungguhnya akhlaknya adalah al-Quran. (HR Ahmad).
Dengan demikian, berdasarkan ayat al-Quran dan hadis penuturan Aisyah di atas, dapat disimpulkan bahwa meneladani Nabi Muhammad saw. hakikatnya adalah dengan cara mengamalkan seluruh isi al-Quran, yang tidak hanya menyangkut ibadah ritual dan akhlak saja, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
Artinya, kaum Muslim dituntut untuk mengikuti dan meneladani Nabi Muhammad saw. dalam seluruh perilakunya: mulai dari akidah dan ibadahnya; makanan/minuman, pakaian, dan akhlaknya; hingga berbagai muamalah yang dilakukannya seperti dalam bidang ekonomi, sosial, politik, pendidikan, hukum, dan pemerintahan.
Sebab, Rasulullah saw. sendiri tidak hanya mengajari kita bagaimana mengucapkan syahadat serta melaksanakan shalat, shaum, zakat, dan haji secara benar; tetapi juga mengajarkan bagaimana mencari nafkah, melakukan transaksi ekonomi, menjalani kehidupan sosial, menjalankan pendidikan, melaksanakan aktivitas politik (pengaturan masyarakat), menerapkan sanksi-sanksi hukum (‘uqûbat) bagi pelaku kriminal, dan mengatur pemerintahan/negara secara benar. Lalu, apakah memang Rasulullah saw. hanya layak diikuti dan diteladani dalam masalah ibadah ritual dan akhlaknya saja, tidak dalam perkara-perkara lainnya? Tentu saja tidak!
Jika demikian, mengapa saat ini kita tidak mau meninggalkan riba dan transaksi-transaksi batil yang dibuat oleh sistem Kapitalisme sekular; tidak mau mengatur urusan sosial dengan aturan Islam; tidak mau menjalankan pendidikan dan politik Islam; tidak mau menerapkan sanksi-sanksi hukum Islam (seperti qishâsh, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, cambuk bagi pemabuk, hukuman mati bagi yang murtad, dll); juga tidak mau mengatur pemerintahan/negara dengan aturan-aturan Islam? Bukankah semua itu justru pernah dipraktikan oleh Rasulullah saw. selama bertahun-tahun di Madinah dalam kedudukannya sebagai kepala Negara Islam (Daulah Islamiyah)?
Kelahiran Nabi saw.: Kelahiran Masyarakat Baru
Sebagaimana diketahui, masa sebelum Islam adalah masa kegelapan, dan masyarakat sebelum Islam adalah masyarakat Jahiliah. Akan tetapi, sejak kelahiran (maulid) Muhammad saw. di tengah-tengah mereka, yang kemudian diangkat oleh Allah sebagai nabi dan rasul pembawa risalah Islam ke tengah-tengah mereka, dalam waktu hanya 23 tahun, masa kegelapan mereka berakhir digantikan dengan masa ‘cahaya’; masyarakat Jahiliah terkubur digantikan dengan lahirnya masyarakat baru, yakni masyarakat Islam. Sejak itu, Nabi Muhammad saw. adalah pemimpin di segala bidang. Ia memimpin umat di masjid, di pemerintahan, bahkan di medan pertempuran.
Karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa makna terpenting dari kelahiran Nabi Muhammad saw. adalah keberadaannya yang telah mampu membidani kelahiran masyarakat baru, yakni masyarakat Islam; sebuah masyarakat yang tatanan kehidupannya diatur seluruhnya oleh aturan-aturan Islam.
Renungan
Walhasil, Peringatan Maulid Nabi saw. sejatinya dijadikan momentum bagi kaum Muslim untuk terus berusaha melahirkan kembali masyarakat baru, yakni masyarakat Islam, sebagaimana yang pernah dibidani kelahirannya oleh Rasulullah saw. di Madinah. Sebab, siapapun tahu, masyarakat sekarang tidak ada bedanya dengan masyarakat Arab pra-Islam, yakni sama-sama Jahiliah. Sebagaimana masa Jahiliah dulu, saat ini pun aturan-aturan Islam tidak diterapkan.
Karena aturan-aturan Islam—sebagaimana aturan-aturan lain—tidak mungkin tegak tanpa adanya negara, maka menegakkan negara yang akan memberlakukan aturan-aturan Islam adalah keniscayaan. Inilah juga yang disadari benar oleh Rasulullah saw. sejak awal dakwahnya. Rasulullah saw. tidak hanya menyeru manusia agar beribadah secara ritual kepada Allah dan berakhlak baik, tetapi juga menyeru mereka seluruhnya agar menerapkan semua aturan-aturan Allah dalam seluruh aspek kehidupan mereka.
Sejak awal, bahkan para pemuka bangsa Arab saat itu menyadari, bahwa secara politik dakwah Rasulullah saw. akan mengancam kedudukan dan kekuasaan mereka. Itulah yang menjadi alasan orang-orang seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Walid bin Mughirah, dan para pemuka bangsa Arab lainnya sangat keras menentang dakwah Rasulullah saw. Akan tetapi, semua penentangan itu akhirnya dapat diatasi oleh Rasulullah saw. sampai beliau berhasil menegakkan kekuasaannya di Madinah sekaligus melibas kekuasaan mereka.
Walhasil, dakwah seperti itulah yang juga harus dilakukan oleh kaum Muslim saat ini, yakni dakwah untuk menegakkan kekuasaan Islam yang akan memberlakukan aturan-aturan Islam, sekaligus yang akan meruntuhkan kekuasaan rezim kafir yang telah memberlakukan aturan-aturan kufur selama ini. Hanya dengan itulah Peringatan Maulid Nabi saw. yang diselenggarakan setiap tahun akan jauh lebih bermakna. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [] Arief B. Iskandar ,redaktur Al wa’ie

Sumber: eramuslim.com

Pertumbuhan untuk si Kaya

CITA-CITA founding fathers, yakni tercapainya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, sepertinya kian jauh panggang dari api. Indikator paling gamblang ialah jurang yang masih menganga antara si miskin dan si kaya di Republik ini.
Di atas kertas, ekonomi memang terus tumbuh dalam tiga tahun terakhir.
Namun, pertumbuhan itu tidak menetes ke kelompok paling miskin di negeri ini yang berjumlah 31 juta orang.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 6,1% pada 2010 tidak disertai dengan membaiknya tingkat pemerataan kesejahteraan rakyat. Itu disebabkan pertumbuhan tersebut lebih banyak diserap golongan menengah ke atas dan hampir tidak menyentuh masyarakat kalangan terbawah.
Situasi itu semakin diperburuk kenyataan bahwa yang lebih besar mendorong pertumbuhan adalah sektor telekomunikasi, transportasi, dan jasa keuangan. Sektor-sektor tersebut kurang menyerap tenaga kerja.
Pertumbuhan tertinggi terjadi di sektor transportasi dan komunikasi yang mencapai 13,5%. Sektor industri pengolahan dan pertanian yang banyak menyerap tenaga kerja hanya tumbuh masing-masing 4,5% dan 2,9%.
Dengan pertumbuhan ekonomi 6,1%, produk domestik bruto Rp6.422,9 triliun, dan 237 juta penduduk, pendapatan per kapita Indonesia pada 2010 mencapai US$3.004,9 atau Rp27 juta. Jumlah itu meningkat 13% jika dibandingkan dengan pendapatan per kapita 2009 sebesar US$2.349,6 atau Rp23,9 juta.
Akan tetapi, dalam kenyataan, berapa banyak orang Indonesia yang berpenghasilan Rp27 juta per tahun atau sekitar Rp2,3 juta per bulan? Berbagai analis memperkirakan jumlahnya tidak sampai separuh penduduk Indonesia. Itu berarti lebih dari 100 juta jiwa rakyat di negeri ini berpenghasilan di bawah pendapatan per kapita.
Selama kebijakan yang bertentangan dengan upaya pengentasan orang miskin tidak dieliminasi, berapa pun dana diguyurkan untuk program antikemiskinan tidak akan banyak berarti. Contohnya, kebijakan liberalisasi perdagangan menyebabkan banjir barang impor di Tanah Air, yang ujung-ujungnya memukul mundur usaha kecil dan menengah.
Padahal, usaha kecil dan menengah merupakan jantung usaha rakyat, yang menyerap hampir 90% tenaga kerja.
Selain itu, pemangkasan subsidi yang sensitif bagi masyarakat, seperti bahan bakar minyak dan listrik, serta tidak adanya kebijakan harga pangan yang propetani, memberi pesan yang terang bahwa pemerintah tidak sedang memberantas kemiskinan. Pemerintah sedang mengejar target pertumbuhan walaupun dengan cara menentang upaya pemerataan.
Karena itu, sekadar membanggakan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang kian mendekati pencapaian pada era sebelum krisis, yaitu 7%, sama saja dengan mengingkari pemerataan kesejahteraan. Selama akar penyebab kesenjangan yang kian menganga tidak diatasi, pemerintah tetap saja menanam bom waktu yang berbahaya bagi masa depan bangsa.
Berbahaya karena meluasnya kemiskinan yang disertai pula dengan semakin melebarnya jurang si kaya dan si miskin tinggal menunggu pemicu untuk pecahnya revolusi sosial.
Sumber: mediaindonesia.com  (16/2/2011)

Menjawab Kebohongan Ahmadiyah

Berbagai penganut “aliran sesat” sudah terbiasa menggunakan kiat-kiat untuk mengelabui dan membohongi masyarakat dalam menyebarluaskan paham-pahamnya
Oleh: H.M. Amin Jamaluddin *
Berbagai aliran sesat sudah terbiasa menggunakan kiat-kiat untuk mengelabui dan membohongi masyarakat dalam menyebarluaskan paham-pahamnya. Berbagai kebohongan, pengaburan, dan tipu daya juga seringkali dimunculkan dalam kasus seputar Ahmadiyah. Pada tanggal 3 Januari 2008, Jemaat Ahmadiyah Indonesia berkirim surat berupa “Ringkasan Penjelasan tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia” kepada Azyumardi Azra di kantor Sekretariat Wakil Presiden.
Tulisan ringkas berikut ini merupakan jawaban-jawaban ringkas dan jitu untuk meluruskan beberapa penjelasan kaum Ahmadiyah, seperti dalam surat mereka ke Azyumardi Azra di kantor Wapres tersebut. Berikut ini beberapa penjelasan Ahmadiyah dan jawaban kita. Ahmadiyah mengatakan:
1. “Syahadat kami adalah syahadat yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: “Asyhadu anlaa-ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.”
Jawab kita:
Kita perlu berhati-hati dan mencermati pengakuan semacam itu. Sejak berdirinya, Jemaat Ahmadiyah sudah mengaburkan makna syahadat, meskipun lafalnya sama dengan syahadat orang Islam. Kaum Ahmadiyah mengklaim bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah juga Muhammad dan Rasul Allah. Simaklah buku Memperbaiki Kesalahan (Eik Ghalthi Ka Izalah), karya Mirza Ghulam Ahmad, yang dialih bahasakan oleh H.S. Yahya Ponto, (terbitan Jamaah Ahmadiyah cab. Bandung, tahun 1993). Di situ tertulis penjelasan terhadap ayat al-Quran berikut ini:
محمد رسول الله والذين معه أشداء على الكفار رحماء بينهم …
Dalam buku ini, Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan, siapa yang dimaksud dengan “Muhammad” dalam ayat tersebut, yakni: “Dalam wahyu ini Allah SWT menyebutku Muhammad dan Rasul…(hal. 5).
Jadi, inilah perbedaan keimanan yang sangat mendasar antara Ahmadiyah dengan orang Muslim. Sebab, bagi umat Islam, kata Muhammad dalam syahadat, adalah Nabi Muhammad saw yang lahir di Mekkah, bukan yang lahir di India. Lebih jauh lagi, dikatakan dalam buku ini:
“Dan 20 tahun yang lalu, sebagai tersebut dalam kitab Barahin Ahmadiyah Allah Taala sudah memberikan nama Muhammad dan Ahmad kepadaku, dan menyatakan aku wujud beliau juga.” (Hal. 16-17). “….. Dalam hal ini wujudku tidak ada, yang ada hanyalah Muhammad Musthafa SAW, dan itulah sebabnya aku dinamakan Muhammad dan Ahmad.” (Hal. 25)
Dalam Majalah Bulanan resmi Ahmadiyah “Sinar Islam” edisi 1 Nopember 1985 (Nubuwwah 1364 HS), rubrik “Tadzkirah“, disebutkan:
“Dalam wahyu ini Tuhan menyebutkanku Rasul-Nya, karena sebagaimana sudah dikemukakan dalam Brahin Ahmadiyah, Tuhan Maha Kuasa telah membuatku manifestasi dari semua Nabi, dan memberiku nama mereka. Aku Adam, Aku Seth, Aku Nuh, Aku Ibrahim, Aku Ishaq, Aku Ismail, Aku Ya’qub Aku Yusuf, Aku Musa, Aku Daud, Aku Isa, dan Aku adalah penjelmaan sempurna dari Nabi Muhammad SAW, yakni aku adalah Muhammad dan Ahmad sebagai refleksi. (Haqiqatul Wahyi, h. 72).” (Hal. 11-12)
Sekali lagi, yang menjadi masalah adalah bahwa bagi kaum Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad juga mengaku sebagai Muhammad saw, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Bahkan, dalam buku Ajaranku, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., Yayasan Wisma Damai, Bogor, cetakan keenam,1993, disebutkan: “….. di dalam syariat Muhammad s.a.w akulah Masih Mau’ud. Oleh karena itu aku menghormati beliau sebagai rekanku …..” (Hal. 14)
Ahmadiyah mengatakan;
2. “Kitab Suci kami hanyalah Al Qur’anul Karim.” Ahmadiyah juga mengatakan, bahwa “Tadzkirah” bukanlah kitab suci mereka, tetapi merupakan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada tahun 1935 (27 tahun setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal dunia tahun 1908).
Jawab kita:
Penjelasan Ahmadiyah ini juga tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam kitab Tadzkirah yang asli tertulis di lembar awalnya kata-kata berikut ini: “TADZKIRAH YA’NI WAHYU MUQODDAS“, artinya TADZKIRAH adalah WAHYU SUCI. Jadi, kaum Ahmadiyah jelas menganggap bahwa kitab Tadzkirah adalah “wahyu yang disucikan”. Karena itu, sangat tidak benar jika mereka tidak mengakuinya sebagai Kitab Suci. Sangat jelas, mereka memiliki kitab suci lain, selain al-Quran, yaitu kitab Tadzkirah.
Tentu saja, umat Islam seluruh dunia menolak dengan tegas, bahwa setelah Nabi Muhammad saw, ada nabi lagi, atau ada orang yang menerima wahyu dari Allah SWT. Dalam buku Apakah Ahmadiyah itu? Karangan HZ. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad disebutkan:
“Hadhrat Masih Mau’ud a.s tampil ke dunia dan dengan lantangnya menyatakan, bahwa Allah Ta’ala bercakap-cakap dengan beliau dan bukan dengan diri beliau saja, bahkan Dia bercakap-cakap dengan orang-orang yang beriman kepada beliau serta mengikuti jejak beliau, mengamalkan pelajaran beliau dan menerima petunjuk beliau. Beliau berturut-turut mengemukakan kepada dunia Kalam Ilahi yang sampai kepada beliau dan menganjurkan kepada para pengikut beliau, agar mereka pun berusaha memperoleh ni’mat serupa itu.” (hal. 63-64).
3. “Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengkafirkan orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata-kata maupun perbuatan.”
Jawab kita:
Pengakuan kaum Ahmadiyah ini pun nyata-nyata tidak sesuai dengan fakta yang ada pada buku-buku dan terbitan mereka. Dalam buku Amanat Imam Jemaat Ahmadiyah Khalifatul Masih IV Hazrat Mirza Tahir Ahmad Pada Peringatan Seabad Jemaat Ahmadiyah Tahun 1989 terbitan Panita Jalsah Salanah 2001, 2002 Jemaat Ahmadiyah Indonesia, disebutkan:
“Saya bersaksi kepada Tuhan Yang MahaKuasa dan Yang Selamanya Hadir bahwa seruan Ahmadiyah tidak lain melainkan kebenaran. Ahmadiyah adalah Islam dalam bentuknya yang sejati. Keselamatan umat manusia bergantung pada penerimaan agama damai ini.” (Hal. 6)
“Bilakhir, perkenankanlah saya dengan tulus ikhlas mengetuk hati anda sekalian sekali lagi agar sudi menerima seruan Juru Selamat di akhir zaman ini.” (Hal. 10)
Bahkan, Ahmadiyah punya istilah sendiri untuk menamai para pengikut ajarannya, dengan tujuan membedakan diri dari orang-orang Islam lainnya:
Dalam buku Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad - Imam Mahdi dan Masih Mau’ud Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, cetakan kedua, 1995, disebutkan:
“Pada tahun 1901, akan diadakan sensus penduduk di seluruh India. Maka Hazrat Ahmad as. menerbitkan sebuah pengumuman kepada seluruh pengikut beliau untuk mencatatkan diri dalam sensus tersebut sebagai Ahmadi Muslim. Yakni, pada tahun itulah Hazrat Ahmad as. telah menetapkan nama Ahmadi bagi para pengikut beliau as., untuk membedakan diri dari orang-orang Islam lainnya.” (Hal. 47)
Kaum Ahmadiyah juga menyebut, jemaat mereka adalah laksana perahu Nabi Nuh yang menyelamatkan. Yang tidak ikut perahu itu akan tenggelam. Dalam Majalah Bulanan resmi Ahmadiyah “Sinar Islam” edisi 1 Juli 1986 (Wafa 1365 HS), pada salah satu tulisan dengan judul Ahmadiyah Bagaikan Bahtera Nuh Untuk Menyelamatkan Yang Berlayar Dengannya, oleh Hazrat Mirza Tahir Ahmad, Khalifatul Masih IV, dinyatakan:
“Aku ingin menarik perhatian kalian kepada sebuah bahtera lainnya yang telah dibuat di bawah mata Allah dan dengan pengarahanNya. Kalian adalah bahtera itu, yakni Jemaat Ahmadiyah. Masih Mau’ud a.s. diberi petunjuk oleh Allah melalui wahyu yang diterimanya bahwa beliau hendaklah mempersiapkan sebuah Bahtera. Bahtera itu adalah Jemaat Ahmadiyah yang telah mendapat jaminan Allah bahwa barang siapa bergabung dengannya akan dipelihara dari segala kehancuran dan kebinasaan.”…………..
“Ini adalah suatu pelajaran lain yang hendaknya diperhatikan oleh anggota-anggota Jemaat. Sungguh terdapat jaminan keamanan bagi mereka yang menaiki Bahtera Nuh, baik bagi para anggota keluarga Masih Mau’ud a.s. maupun bagi orang-orang yang, meskipun tidak mempunyai hubungan jasmani dengannya, menaiki Bahtera itu dengan jalan mengikuti ajaran beliau”. ………….
“Semoga Allah memberi kemampuan kepada kita untuk melindungi Bahtera ini dengan sebaik-baiknya, dengan ketakwaan dan ketabahan yang sempurna, dan dengan kebenaran yang sempurna - Bahtera yang telah dibina demi keselamatan seluruh dunia. Amin!”. (Hal. 12, 13, 16, 30)
Kesimpulan:
Kita jangan mudah tertipu dengan penjelasan-penjelasan yang tampak indah, padahal, dunia Islam sejak dulu sudah tahu, apa dan bagaimana sebenarnya ajaran Ahmadiyah. Intinya, mereka mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, Isa al-Mau’ud, dan Imam Mahdi. Mereka juga tidak mau bermakmum kepada orang Islam dalam shalat, karena orang Islam tidak mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi.
Jadi, antara Islam dan Ahmadiyah memang ada perbedaan dalam masalah keimanan. Oleh sebab itulah, berbagai fatwa lembaga-lembaga Islam internasional sudah lama menyatakan, bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan. Kita berharap para pejabat dan cendekiawan kita tidak mudah begitu saja menerima penjelasan Ahmadiyah, tanpa melakukan penelitian yang mendalam. Sebab, tanggung jawab mereka bukan saja di dunia, tetapi juga di akhirat. Kita hanya mengingatkan mereka, tanggung jawab kita masing-masing di hadapan Allah SWT.
Penulis adalah Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam
(sumber : www.hidayatullah.com; Rabu, 16 Januari 2008 )

Seruan Hizbut Tahrir kepada Dewan Agung Militer Mesir

Dari Hizbut Tahrir kepada Dewan Agung Militer Mesir
بسم الله الرحمن الرحيم
Penjaga Camp David Yang Kedua pun Jatuh!
Tiga puluh tahun lalu Anwar Sadat dijatuhkan dengan keras oleh para aktivis mukmin Mesir. Itu sebagai balasan kejahatan yang dilakukannya berupa penandatanganan perjanjian Camp David yang khianat dengan entitas Yahudi perampas Palestina, bumi Isra’ da Mi’raj, bumi kiblat yang pertama …
Hari ini jatuh dan terusir pula lah Hosni Mubarak, pewaris Sadat dalam menjaga Camp David, yang memelihara pasal-pasalnya, dan yang melaksanakannya sebagai pengkhianatan kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukmin …
Dua orang itu jatuh akibat perbuatan tangan keduanya setelah keduanya membangun istana, memiliki harta yang banyak, kemudian mereka tinggalkan di belakang mereka!
{ فَمَا بَكَتْ عَلَيْهِمُ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ وَمَا كَانُوا مُنْظَرِينَ }
Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan merekapun tidak diberi tangguh. (QS ad-Dukhan [44]: 29)
Dua orang itu jatuh setelah keduanya mengabdi kepada Amerika, selain Allah. Amerika menguasai lisan dan jari jemari keduanya. Maka Amerika tidak berguna sedikitpun bagi keduanya di hadapan Allah.
{وَلَنْ تُغْنِيَ عَنْكُمْ فِئَتُكُمْ شَيْئًا وَلَوْ كَثُرَتْ وَأَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ}
dan angkatan perangmu sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sesuatu bahayapun, biarpun dia banyak dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang beriman. (QS al-Anfal [8]: 19)
Dua orang itu jatuh dan tidak meraih kebaikan apa-apa bahkan sebaliknya mendapatkan kehinaan di dunia.
< وَلَعَذَابُ الْآَخِرَةِ أَخْزَى وَهُمْ لَا يُنْصَرُونَ >
Dan sesungguhnya siksaan akhirat lebih menghinakan sedang mereka tidak diberi pertolongan. (QS Fushshilat [41]: 16)
Dua orang itu jatuh … dan itulah kesudahan bagi setiap pengkhianat, meski setelah selama jangka waktu tertentu. Yaitu pengkhianat yang tidak tidak menghukumi dengan islam, tidak memberikan loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya, sebaliknya justru loyal kepada kaum kafir penjajah dan berkonspirasi dengan kaum kafir penjajah terhadap negeri kaum muslim …
Dua orang itu jatuh … lalu tidakkah orang-orang zalim merenungkan perkara mereka, sebelum Allah mendatangi mereka dari arah yang tidak mereka sangka-sangka?
{وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ }
Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. (QS Ibrahim [14]: 42)
Para penguasa yang menandatangani perjanjian khianat dengan entitas Yahudi, atau menormalisasi hubungan dengan entitas Yahudi atau berunding dengan mereka, tidakkah mereka paham bahwa kesudahan mereka adalah hitam gelap di dunia sebelum nanti di akhirat? Ataukah mereka itu tuli, bisu, dan buta, sehingga karenanya mereka tidak mengerti …
Mesir Kinanah dan warganya telah melakukan perlawanan terhadap kezaliman. Tahrir Square berubah menjadi masjid (tempat sujud) yang dari sana bertolak takbir mereka yang mendeklarasikan fajar baru … Lalu tidakkah fajar itu menjadi benar-benar fajar Khilafah di bumi Kinanah, fajar penghapusan perjanjian khianat, fajar kemenangan kembali di Palestina, dan fajar pembebasannya dari najis Yahudi dan penghapusan entitas Yahudi, yang urusannya mulai makanan sampai senjata ditangani Amerika dengan dilihat dan didengar oleh para penguasa khianat di negeri-negeri kaum Muslim bahkan atas koordinasi dan kerelaan mereka!
Amerika telah mengintervensi Mesir Kinanah dalam jangka waktu yang lama. Hal itu, dan bahkan yang lebih dari intervensi itu, dipermudah oleh para penguasa yang tidak memiliki rasa malu kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukmin … Dan hal itu masih terus berlangsung, hingga dalam peristiwa-peristiwa paling akhir ini. Amerika tetap saja mengenduskan batang hidungnya dan memasukkan dirinya dalam perkara dan urusan Mesir melalui lisan Obama, wakil dan para penasihatnya … Belum tibakah saatnya batang hidung Amerika itu dipatahkan, diri yang dimasukkan itu dibinasakan dan lisan itu dipotong, sehingga Mesir kembali bebas dan mulia sebagai anak panah (kananah) Allah di muka bumi ini?
Kami Hizbut Tahrir menyampaikan seruan kepada orang-orang yang jujur di Dewan Agung Militer Mesir. Sungguh Allah telah memberinya kekuasaan. Hendaklah ia menjadikan loyalitasnya kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukmin dan memutus total loyalitas kepada selainnya … Menegakkan Khilafah dan memerintah dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, berjihad di jalan Allah, mengembalikan Palestina, meneladani pembebas Palestina terdahulu dari najis pasukan salib dan Tatar, sehingga ia bisa membebaskan bumi yang diberkahi itu dari najis Yahudi dan memupus segala upaya kaum penjajah …
{وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ }
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS al-Hajj [22]: 40)
09 Rabiul Awal 1432 H
12 Februari 2011
Hizbut Tahrir

Kalau Tidak Menyebarkan Ahmadiyah, “Priyuk Nasi Saya tidak Ngebul”

Jakarta. Suparman dihadapan guru ngajinya mengaku bahwa ia bersedia menjadi anggota Ahmadiyah dan bahkan menjadi Ketua Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Cikeusik lantaran faktor ekonomi. Hal itu diungkapkan Ketua MUI Banten KH Aminudin Ibrahim dalam acara Halqah Islam dan Peradaban (HIP) ke-27, Ahad (20/2) di Wisma Antara, Jakarta.
Anggota Tim Pencari Informasi dan Fakta (TPF) MUI Pusat Kasus Cikeusik ini menjelaskan panjang lebar tentang keberadaan Ahmadiyah di Pandeglang. Sekitar 250 anggota Ahmadiyah Pandeglang akhirnya kembali ke pangkuan Islam setelah diadakannya sosialisasi SKB 3 Menteri pada Nopember 2008 lalu.
Namun tersisa delapan orang warga yang bersikukuh tetap tidak mau tobat. Mereka adalah para mubaligh Ahmadiyah, salah satunya adalah Suparman warga Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang.
Dalam sosialisasi SKB 3 Menteri itu, terjadilah dialog antara Suparman dengan guru ngajinya yakni Ketua MUI Cikeusik KH Amir. Amir pun menanyakan mengapa Suparman bisa masuk Ahmadiyah. Semua dalil yang diajukan Suparman tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad, terbantahkan dengan telak. Namun Suparman enggan keluar dari Ahmadiyah.
Akhirnya, karena sudah tidak ada argumen berdasarkan dalil Al-Qur’an maupun Hadits lagi, maka ia pun mengakui alasan yang sebenarnya sehingga ia tidak mau kembali ke jalan yang benar.
“Pak Kiai kalau saya tidak melaksanakan ini (ajaran Ahmadiyah, red), priyuk nasi saya tidak ngebul” ujar Aminudin menirukan ucapan Suparman kepada Amir.
Maka terungkaplah bahwa Suparman diberi berbagai fasilitas yang menggiurkan oleh JAI Pusat. Di antaranya, tiap bulan ia digaji Rp 10 juta perbulan, diberi uang Rp 150 juta untuk membeli rumah, diberi dana Rp 150 juta untuk kegiatan ‘dakwah’ di bulan Ramadhan.
Karena Suparman tidak mau meninggalkan mencari nafkah dengan cara yang haram itu, akhirnya masalah ini naik ke Bakorpakem tingkat Kabupaten Pandeglang. Terjadilah dialog dan disepekatilah bahwa Suparman tidak akan mengajarkan lagi ajaran sesatnya.
“Bahkan kesepakatan itu ditandatangani oleh Suparman sendiri,” ujar Aminudin di hadapan 600 peserta talkshow yang bertema Ahmadiyah Berulah,Umat Islam di Fitnah (Menelisik Konspirasi dan Targetnya) itu.
Aminudin pun mengungkapkan bahwa ternyata Suparman melanggar perjanjian itu. Karena  faktanya ia malah terus mengembangkan ajaran Mirza Ghulam Ahmad, nabi palsu utusan kolonial Inggris.
“Ia tetap door to door mengajak orang untuk masuk Ahmadiyah dengan iming-iming akan diberi uang,” ujarnya. Berdasarkan pengakuan warga kepada Aminudin, uang yang akan diberikan itu variatif tergantung tugasnya nanti. “Yang jelas berkisar 1,5 juta-10 juta rupiahlah,” ujarnya kepada mediaumat.com. Sehingga akhirnya di Cikeusik saat ini ada 25 warga yang turut menjadi anggota JAI.
Dalam takshow bulanan yang diselenggaran oleh Hizbut Tahrir Indonesia itu, nampak pula Ketua Dewan Pembina TPM Mahendradatta; Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PPP Mohammad Arwani Thomafi;  Wakil Ketua Komnas HAM Nurcholis; dan Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto. Mereka hadir sebagai pembicara. Kecuali Nurcholis, semua pembicara sepakat bahwaPresiden SBY harus segera membubarkan Ahmadiyah

Selasa, 01 Februari 2011

Mewujudkan Perubahan Hakiki di Dunia Islam

  Mesir bergolak oleh aksi massa besar-besaran sejak 25 Januari lalu. Lebih dari 125 orang tewas dalam rangkaian aksi unjuk rasa itu dan lebih dari 1000 orang lainnya ditangkap pasukan keamanan Mesir.
Revolusi Mesir ini diilhami oleh Revolusi Melati di Tunisia yang berhasil mengusir presiden Tunisia, Zine El Abidine Ben Ali, setelah berkuasa selama 23 tahun. Inspirasi itu juga telah menjalar ke Aljazair, Yaman, Yordania. Dan mungkin juga akan menjalar ke Syria, Libia, Sudan, Saudi Arabia dan negara lainnya. Rangkaian semua itu digambarkan sebagai revolusi arab yang berujung perubahan di dunia Arab.
Perubahan Semu
Revolusi Melati di Tunisia memang bisa mengusir diktator Zine El Abidine Ben Ali, setelah 23 tahun berkuasa. Setelah itu, kendali negara beralih ke tangan Mohammed Gannouchi, Kallal, Fuad Mebazza. dan pemerintahan persatuan. Sayangnya mayoritas mereka adalah orang-orang Ben Ali dan tetap dekat dan loyal ke Prancis.
Di Mesir, Hosni Mubarak dipastikan tidak bisa bertahan dan harus turun. Presiden Barack Obama, Senin (31/1), mendesak ‘transisi yang tertib dan mulus’ untuk demokrasi Mesir (republika.co.id, 31/1). Di lain pihak, 27 menlu Uni Eropa juga mendesak Kairo untuk mengambil pendekatan selangkah demi selangkah, dimulai dengan (pembentukan) pemerintah sementara barbasis luas dan berpuncak dengan pemilihan demokratis (Kompas, 1/2).
Pihak-pihak oposisi Mesir, termasuk sebagian besar dari mereka yang telah bergabung dalam Koalisi Nasional untuk Perubahan di bawah Mohammed ElBaradei, juga menyerukan dibentuknya pemerintahan transisi yang melibatkan semua pihak terutama oposisi. Mereka menunjuk ElBaradei -sebagian lain menunjuk Amr Mousa, yang menjabat sebagai sekjen Liga Arab, dan mantan Menlu Mesir- untuk menegosiasikan hal itu dengan pemerintah (lihat, Aljazeera.net, 31/1). Di sisi lain, Wapres Omar Suleiman menyatakan (1/2) bahwa ia ditugaskan melakukan dialog dengan kekuatan oposisi tentang sejumlah masalah terutama reformasi konstitusi dan yuridis (BBC.co.uk/Arabic, 1/2).
Maka hasil revolusi Mesir pun bisa diprediksi. Mubarak turun dan dibentuk pemerintahan transisi. Pemerintahan transisi maksimal hanya satu tahun. Tugasnya memastikan terjadinya reformasi konstitusi dan pelaksanaan pemilu yang demokratis. Reformasi konstitusi dilakukan untuk membatasi kekuasan presiden, menguatkan posisi dan kekuasaan perdana menteri, menguatkan posisi parlemen dan terbentuknya aturan yang menjamin pelaksanaan pemilu demokratis. Itulah hasil-hasil yang sangat mungkin terjadi di Mesir mirip yang terjadi di Tunisia.
Revolusi Melati di Tunisia yang menginspirasi revolusi arab hanya membuahkan perubahan rezim. Revolusi Mesir kali ini agaknya juga berakhir pada pergantian rezim semata, tanpa perubahan sistem yang berarti. Tentu hal itu sungguh disayangkan. Apalagi jika orang-orang baru, baik di Tunisia maupun Mesir, tetap saja dekat atau loyal kepada barat, baik AS atau Eropa, terutama Inggris dan Prancis. Padahal untuk itu ratusan nyawa dan darah suci anak-anak kaum Muslim harus menjadi tumbalnya.
Itu bukan yang pertama di dunia Islam. Reformasi di Indonesia, misalnya, memang berhasil menumbangkan Soeharto. Namun hingga kini persoalan Indonesia belum selesai. Apa yang di era Soeharto dikritik oleh demonstran seperti maraknya korupsi, kolusi, mafia peradilan, kemiskinan, justru kembali berulang saat ini. Dalam beberapa hal bahkan lebih parah. Kehidupan ekonomi rakyat pun tidak lantas membaik pasca reformasi. Era reformasi justru melahirkan kebijakan ekonomi kapitalisme neo liberal anti rakyat seperti privatisasi, pengurangan bahkan pencabutan subsidi, pasar bebas dll.
Hal sama juga terjadi di Pakistan. Diktator Musharraf berhasil ditumbangkan dan diganti dengan pemerintahan demokratis. Hasilnya, pemerintah demokratis itu sama saja dengan diktator Musharraf, yaitu menghamba kepada barat, khususnya AS. Perekonomian Pakistan pun tak juga bangkit. Kehidupan rakyat tetap tidak banyak berubah.
Begitu juga di Bangladesh, pasca tumbangnya penguasa militer Zia ulHaq dahulu. Juga yang terjadi di dunia arab, pasca tumbangnya rezim King Faisal di Irak, Saddam Husein di Irak, raja Fuad di Mesir, Anwar Sadat di Mesir tahun 1981, Shah Reza di Iran, dsb. Semuanya sama, hanya berakhir dengan pergantian rezim tanpa ada perubahan sistem. Hasilnya dapat kita lihat dan rasakan. Dunia Islam termasuk negeri ini tetap saja terpuruk. Rakyatnya banyak yang menderita sementara kekayaannya lebih banyak dikuasai oleh segelintir orang bahkan dirampok oleh atau malah diserahkan kepada kafir barat yang sejatinya adalah musuh umat.
Umat ini sungguh telah berkali-kali terjebak pada proses yang sama. Padahal Rasulullah saw bersabda:
«لاَ يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ»
Tidak selayaknya seorang mukmin dipatok ular dari lubang yang sama dua kali (HR al-Bukhari dan Muslim)
Mewujudkan Perubahan Hakiki
Pelajaran penting dari semua itu adalah bahwa perubahan dan pergantian rezim saja tidak cukup. Pangkal masalahnya bukanlah sosok Mubarak, Ben Ali, Soeharto, Musharraf, Qaddafi, Ali Abdullah Saleh, Raja Abdullah atau rezim-rezim lain. Pangkal masalahnya adalah sistem sekuler demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan oleh rezim-rezim itu.
Bahkan perubahan sebatas rezim tanpa disertai dengan perubahan sistem akhirnya kembali mendudukkan “penumpang gelap,” yang menjadi kaki tangan poros imperialis. Rezim diktator jatuh, diganti oleh rezim baru yang masih pro Barat baik Amerika, Inggris atau Prancis. Menerapkan sistem yang sama. Dan persoalan yang samakan muncul berulang kembali.
Saatnya Kita berupaya mewujudkan gelombang perubahan hakiki. Di mana rakyat tidak hanya menuntut sekadar pergantian orang tapi juga sistem. Karena rakyat akhirnya menyadari pergantian orang tidak banyak membawa perubahan berarti, tanpa perubahan sistem.
Untuk itu ada beberapa hal penting harus diwujudkan:
Pertama, sistem alternatif itu harus disiapkan. Sistem itu tidak lain adalah sistem Islam dengan syariahnya yang telah diturunkan oleh Allah SWT, Zat yang Mahatahu, Mahaadil lagi Maha Bijaksana. Allah SWT menyindir kita jika kita benar-benar orang yang yakin :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50)
Ibarat kita akan membangun bangunan baru, menggantikan bangunan lama yang sudah bobrok, maka desain bangunan baru itu harus dirancang dan digambarkan. Begitu pula mewujudkan perubahan hakiki menuju sistem Islam, maka sistem Islam yang termaktub di dalam al-Quran dan as-Sunnah itu harus digambarkan desainnya. Ini sangat penting, karena tanpa gambar desain itu bisa jadi akan salah bangun dan tak akan terwujud bangunan yang diidamkan. Hizbut Tahrir telah berupaya menggambarkan desain sistem Islam itu baik Sistem Pemerintahannya, Struktur Pemerintahan dan Admistrasi, Sistem Ekonomi Islam, Sistem Pergaulan Islam, Keuangan di Negara Khilafah, Sistem Pidana dan Sanksi, Hukum-hukum Pembuktian, dsb, sehigga siap pakai dan siap bangun.
Kedua, terus dikomunikasikan secara masif kebobrokan bangunan sistem ideologi sekuler kapitalisme dengan sistem politik demokrasi, sistem ekonomi kapitalisme, dsb. Sehingga umat paham bahwa tidak ada gunanya lagi sistem bobrok dan usang itu dipertahankan dan terus diterapkan.
Ketiga, kaum kafir barat dan para pengusung sistem kapitalisme yang bobrok akan berupa dengan segala cara untuk mempertahankan sistem itu. Maka strategi dan cara-cara mereka harus dibongkar kepada umat. Jati diri mereka pun harus ditelanjangi. Sehingga umat tidak akan terpedaya oleh mereka untuk mendukung dipertahankannya sistem bobrok tersebut.
Keempat, desain bangunan sistem Islam harus terus dikomunikasikan dan dipahamkan kepada umat, terutama para ulama, tokoh, militer dan ahlul quwah. Upaya ini harus dilakukan secara massif dan simultan. Sehingga umat termasuk tokoh,ulama dan Ahlul Quwah paham akan kebaikan sistem Islam. Mereka paham bahwa penerapan sistem Islam dengan syariahnya didalam bingkai khilafah merupakan konsekuensi keimanan.
Saat ini yang harus kita lakukan adalah ambil bagian bergabung dalam perjuangan ini. Kita pun harus mengintensifkan proses menjelaskan dan memahamkan sistem Islam kepada segenap komponen umat, terutama para tokoh, ulama dan ahlul quwah termasuk militer. Revolusi Tunisia, Mesir memberi pelajaran berharga bahwa jika umat telah menghendaki dan mendesak suatu perubahan maka tidak akan terbendung. Sebagian tokoh dan militer pun pada akhirnya akan berpihak kepada umat karena mereka adalah anak-anak umat ini dan tentu tidak akan bisa berhadapan dengan umat yang melahirkan dan mengasuh mereka.
Wahai Kaum Muslim
Perubahan rezim saja tidak cukup, tetapi harus disertai perubahan sistem. Sistem ideologi kapitalisme dengan sistem politik demokrasi dan sistem ekonominya telah sama-sama kita lihat dan rasakan kegagalannya dan penuh kebobrokan. Saatnya kita ganti dengan sistem Islam yang berasal Allah yang Mahaadil dan Bijaksana. Desain sistem Islam itu telah dirancang dan digambarkan begitu jelas, juga telah dan terus dikomunikasikan kepada Anda. Saatnya kita tentukan sikap dan kita penuhi seruan Allah dan Rasulnya:
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (QS al-Anfal [8]: 24)
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.
Komentar Al Islam
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersinggung akan adanya aksi menggalang koin untuk Presiden. (Republika.co.id, 1/2/2011)
  1. Seharusnya Presiden marah pada diri sendiri dan sistem saat ini, karena rakyat susah mencari sekedar sesuap nasi, tak bisa berobat hingga mati, harta rakyat dikorupsi, dan kekayaan rakyat diberikan ke luar negeri
  2. Terapkan Syariah Islam dalam bingkai Khilafah yang akan mendistribusikan kekayaan negeri untuk kemakmuran rakyat sendiri. Begitulah menunjukkan harkat, martabat dan harga diri   [Al Islam edisi  542]

Pejuang Syari'ah & Khilafah