Assalamu Alaikum Wr.Wb. SELAMAT DATANG KEPADA SELURUH PEJUANG SYARI'AH & KHILAFAH ........

Selasa, 18 Januari 2011

Pemerintah Mengabaikan Rakyat, Memanjakan Pejabat

  Pemerintah selama ini sering mengklaim bahwa APBN disusun untuk menciptakan sebanyak mungkin lapangan pekerjaan, mengentaskan kemiskinan, menciptakan pertumbuhan yang tinggi dan mendukung kelestarian lingkungan.
Namun nyatanya, besaran APBN justru lebih untuk kepentingan birokrat, politisi dan Pemerintah. Dari hasil analisis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) terhadap APBN 2011, ditemukan data bahwa anggaran ‘pelesiran’ Pemerintah pada 2011 membengkak: dari rencana Rp 20,9 triliun dalam RAPBN 2011 menjadi Rp 24,5 triliun dalam realisasi APBN 2011.
Menurut FITRA, Pemerintah terkesan hendak menyembunyikan hal itu. ”Belanja perjalanan yang biasanya diuraikan pada nomenklatur belanja barang, pada dokumen Data Pokok APBN 2011 tidak lagi dicantumkan. Rupanya, untuk menghindari kritik masyarakat atas membengkaknya belanja perjalanan, Pemerintah justru menutupi belanja perjalanan ini,” tegas Sekjen FITRA, Yuna Farhan.
Menurut Yuna, belanja perjalanan adalah belanja yang terus membengkak setiap tahunnya. Dalam APBN 2009, misalnya, alokasi belanja perjalanan ‘hanya’ Rp 2,9 triliun. Namun, dalam APBN-P 2009 melonjak menjadi Rp 12,7 triliun, bahkan dalam realisasinya membengkak menjadi Rp 15,2 triliun. Lalu dalam APBN 2010, Pemerintah menetapkan anggaran perjalanan Rp 16,2 triliun, kemudian membengkak menjadi Rp 19,5 triliun dalam APBN-P (Republika, 17/1/2011).
Membengkaknya anggaran belanja perjalanan di APBN 2011 ini bukan semata karena peran Pemerintah, tetapi DPR. Pasalnya, RAPBN 2011 yang diajukan Pemeritah harus mendapat persetujuan DPR hingga bisa disahkan menjadi APBN 2011. Selama ini para anggota DPR memperlihatkan salah satu hobi mereka: pelesiran, meski dengan judul “studi banding”, dengan dana miliaran rupiah.
Sebagaimana diketahui, belanja perjalanan selama ini menjadi lahan subur penghasilan baru pejabat. Berdasarkan hasil audit BPK pada Semester I 2010, belanja perjalanan adalah belanja yang paling banyak mengalami penyimpangan. Setidaknya ditemukan penyimpangan anggaran perjalanan dinas di 35 kementerian/lembaga senilai Rp 73,5 miliar. Angka penyimpangan sebenarnya diyakini jauh lebih besar dari angka itu mengingat audit yang dilakukan oleh BPK beluk secara menyeluruh dan detil. Selain biaya perjalanan, pada tahun ini juga ada rencana pembelian mobil dinas dengan total mencapai Rp 32,572 miliar, selain biaya perawatan gedung yang mencapai Rp 6,1 triliun.
Di sisi lain, DPR telah memutuskan tetap membangun gedung baru. Gedung baru itu akan dibangun 36 lantai dengan luas sekitar 161.000 meter persegi dengan biaya Rp 1,3 triliun.
Mengabaikan Rakyat
Berbagai kenyataan di atas menunjukkan bahwa keuangan negara yang seharusnya dibelanjakan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat, justru banyak digunakan untuk fasilitas dan kepentingan birokrat, politisi dan Pemerintah. Jumlah anggaran perjalanan di atas, misalnya, jauh lebih besar dari jumlah anggaran Jamkesmas 2011 yang hanya sebesar Rp 5,6 triliun. Bahkan menurut analisis FITRA, Pemerintah justru memangkas belanja fungsi kesehatan dari 19,8 triliun Rupiah di APBN P 2010 menjadi 13,6 triliun Rupiah di APBN 2011. Anggaran yang dialokasikan untuk menanggulangi gizi buruk pada balita hanya Rp 209,5 miliar. Padahal dari berbagai data, di Indonesia terdapat 4,1 juta balita yang mengalami gizi buruk. Artinya, untuk satu balita hanya dialokasikan sekitar Rp 50 ribuan/balita/tahun atau sekitar Rp 4 ribuan/balita/bulan.
Sebagaimana diketahui, pada akhir tahun 2010 tercatat masih ada sebanyak 31,02 juta jiwa penduduk miskin di negeri ini. Bisa jadi kondisi mereka sangat mengenaskan seperti yang terjadi pada enam orang bersaudara dari Desa Jebol, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, yang meninggal dunia akibat keracunan makanan tiwul yang terbuat dari bahan ketela pohon yang terpaksa mereka konsumsi karena kemiskinan dan minimnya pendapatan mereka.
Di sisi lain, dengan alasan untuk menghemat anggaran, Pemerintah memutuskan melakukan pembatasan BBM bersubsidi. Padahal, seperti yang diprediksi oleh BPS, pembatasan BBM bersubsidi itu pasti menyebabkan kenaikan harga barang atau inflasi. Ujung-ujungnya rakyat secara umum jugalah yang harus menanggung akibatnya.
Menutup Defisit dengan Utang
Besarnya biaya perjalanan dan fasilitas birokrasi, pejabat dan politisi itu semestinya bisa dipangkas sehingga setidaknya akan mengurangi defisit APBN. Selama ini defisit APBN itu selalu ditutupi oleh Pemerintah dengan mencari utang. Tahun ini pun Pemerintah berencana menerbitkan surat utang hingga 200 triliun. Padahal menurut data Utang Luar Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI), tercatat hingga September 2010, utang Indonesia sudah mencapai US$ 194,349 miliar (setara Rp 1.755 triliun dengan kurs Rp 9000 perdolar AS). (Detikfinance.com, 9/1/2011).
Tentu utang itu harus dibayar dengan uang APBN yang notabene adalah uang rakyat karena hampir 80% APBN berasal dari pajak yang dipungut langsung dari rakyat dan pendapatan dari kekayaan alam yang juga adalah milik rakyat. Di dalam APBN 2011, pembayaran utang negara (cicilan pokok+bunga utang) meningkat menjadi Rp 247 triliun. Jumlah ini naik Rp 10 triliun dibandingkan tahun 2010. Pembayaran utang tersebut menghabiskan pendapatan negara yang seharusnya digunakan untuk rakyat, misalnya saja untuk anggaran subsidi pendidikan dan bahan bakar minyak (BBM).
Pragmatisme Ekonomi
Besarnya biaya perjalanan dan fasilitas untuk birokrasi, pejabat dan politisi ini adalah cermin dari pandangan ekonomi Pemerintah seperti yang diungkapkan oleh Presiden SBY: pragmatisme. Menurut Pengamat Kebijakan Publik Ichsanuddin Noorsy, pragmatisme adalah ‘ideologi’ yang membuat penganutnya tak mau bersusah payah. Ujung dari pragmatisme adalah keuntungan individu sebagai segala-galanya. “Jadi pusat kegiatan ekonominya adalah keuntungan pribadi, bukan kesejahteraan bersama!” (Mediaumat.com, 4/1/2011).
Lebih dari itu, itulah buah dari ideologi Kapitalisme-sekular yang dianut dan diterapkan di negeri ini. Ideologi itu membuat penyelenggara negara tak lagi memiliki rasa malu melakukan semua hal diatas. Sebab, semuanya itu dalam pandangan mereka adalah legal dan bisa diatur.
Segera Terapkan Sistem Islam
Akan sangat berbeda jika yang dianut dan diterapkan di negeri ini adalah ideologi Islam. Sebab, ideologi Islam menyatakan bahwa pemimpin adalah penanggung jawab urusan dan kemaslahatan rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu di hadapan Allah SWT. Nabi saw bersabda:
اَلْإِمَامُ رَاعٍ فَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Seorang imam (pemimpin) pengatur dan pemelihara urusan rakyatnya; dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Keuangan negara yang sejatinya uang rakyat itu adalah amanah yang dipercayakan kepada Pemerintah untuk dikelola demi sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat. Karena itu, saat uang rakyat itu justru digunakan untuk kepentingan dan fasilitas birokrat, pejabat dan politisi, maka kebijakan tersebut merupakan pengkhianatan terhadap amanah itu. Padahal Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad); jangan pula kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadalian, padahal kalian mengetahuinya (QS al-Anfal [8]: 27).
Tentu hanya orang yang berimanlah yang takut untuk mengkhianati amanah itu. Hanya birokrat, pejabat dan politisi yang berimanlah yang akan dengan amanah mengelola keuangan negara yang merupakan uang rakyat itu, demi sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat. Sebab, mereka yakin akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah atas pengaturan urusan rakyat yang diamanahkan kepada mereka. Semua itu tidak akan terwujud kecuali di dalam negara yang menerapkan syariah Islam.
Syariah Islam memiliki serangkaian hukum dan aturan yang menjadi panduan bagi pemerintah dan rakyat tentang bagaimana keuangan negara itu dikelola. Jika pemerintah lalai dalam hal itu, rakyat secara individual maupun berkelompok, termasuk partai politik, memiliki kesempatan yang luas untuk mengoreksi pemerintah. Bahkan mereka bisa mengajukan penguasa itu ke hadapan Mahkamah Mazhalim. Jika terbukti mereka berkhianat, bisa saja mereka diberhentikan.
Jelas, semua kenyataan buruk di atas hanya akan bisa diakhiri jika syariah Islam diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam. Itulah Khilafah Islamiyah yang menjadikan akidah Islam sebagai dasarnya dan syariah sebagai hukum untuk mengatur urusan masyarakatnya.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada suatu yang memberikan kehidupan kepada kalian (QS al-Anfal [8]: 24).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.

Seruan Khilafah di tengah Krisis Tunisia

Seruan khilafah menggema saat krisis Tunia. Meskipun nyaris tidak diekspos oleh media asing, sebuah video menunjukkan diantara para demonstran saat krisis Tunisia terdapat sekelompok umat Islam yang menyerukan Khilafah (lihat : www.hizb.org.uk). Sebelum pawai dimulai , pembicara utama mengingatkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan Muslim untuk tidak merusak pohon bahkan dalam kondisi perang, Islam juga melarang merusakan barang-barang milik orang lain. Terdapat seruan yang tegas menyerukan perjuangan non kekerasan yang berdasarkan Islam.
Beberapa slogan disuarakan dengan tegas oleh para demonstran “Tidak ada jalan lain, tidak ada jalan lain! Khilafah adalah satu-satunya solusi “, “Dengan jiwa kita, dengan darah kita, kita siap berkorban untuk Islam “. Hal ini menunjukkan para demonstran siap menghadapi petugas keamanan dengan keyakinan mereka.
Saat Berdiri di depan tentara Tunisia mereka pun berpidato : “Wahai tentara muslim, dimana anda di Palestina ? Dimana anda di Irak ? Lepaskanlah rantai penguasa yang membelengu leher anda ! Hai pasukan Muslim, kami siap bersama anda, dengan darah , jiwa , dan anak-anak kami! Hapuskan rezim yang menindas dan dukunglah pemimpin yang satu untuk semua kaum muslimin”
Bukan Hal yang Asing
Khilafah bukanlah hal asing bagi masyarakat Tunisia yang mayoritas Islam. Kejayaan wilayah Tunisia justru terjadi di masa Khilafah. Tentara Muslim di bawah komando Uqba bin Nafi untuk pertama kalinya melakukan ekspedisi futuhat ke wilayah Maghrib pada 670 M. Lima tahun kemudian, pasukan tentara Islam membangun basis pertahanan dan sebuah masjid pertama di kota Kairouan. Pasukan tentara Muslim yang dipimpin Hasan bin Al-Nu’man mampu menguasai kota Tunis dan seluruh wilayah Maghrib pada 705 M.
Puncak kejayaan kota Tunis berlangsung di era kekuasaan Dinasti Hafsiah. Pada masa itu, di Tunis berdiri sebuah perguruan tinggi pertama di Afrika Utara. Di awal abad ke-13 M, Tunis sebuah kota yang berada di wilayah Maghrib mencapai puncak kejayaannya. Ibu kota kekhalifahan Muslim di bagian Utara ‘benua hitam’ itu, sempat menjelma sebagai metropolis kaya raya. Kemajuan yang dicapai Tunis dalam bidang ekonomi, kebudayaan, intelektual, serta sosial tak ada yang mampu menandinginya pada era itu.
Tunis merupakan salah satu kota terpenting dalam sejarah peradaban Islam di Afrika. Betapa tidak. Dari kota inilah ajaran Islam bisa menyebar hingga ke Siciliasebuah provinsi otonom di Italia. Pamornya semakin berkilau seiring berdirinya madrasah Al-Zaituna di kota ituperguruan tinggi pertama di Afrika Utara. Tunis telah melahirkan seorang ilmuwan Muslim terkemuka sepanjang masa, Ibnu Khaldun.
Pada era kejayaan Almohad, ilmu pengetahuan berkembang pesat di wilayah Maghrib. Salah seorang sarjana terkemuka pada era itu, Abu Yusuf Yakub, membangun sejumlah perpustakaan di Tunis dan wilayah Maghrib lainnya. Dinasti ini juga mendukung aktivitas para sarjana Muslim, seperti Ibnu Tufail dan Ibnu Rushd untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah satu arsitektur peninggalan dinasti ini adalah bangunan Giralda of Seville.
Tunis pun menjadi kota yang berpengaruh. Kota itu berkembang menjadi kota perdagangan dan ilmu pengetahuan. Para pedagang dari Venesia dan berbagai belahan dunia lainnya datang ke Tunis untuk berniaga.Kemakmuran yang dicapai kota Tunis masih dapat disaksikan pada abad akhir awal abad ke-16 M. Seorang pelaut dari Turki, Pipi Reis, dalam catatan perjalanannya melukiskan kemegahan dan keindahan kota itu. Menurut Reis, di kota itu berdiri sekitar 5.000 rumah yang gaya arsitekturnya meniru istana kerajaan. Sepanjang kota itu dihiasi dengan kebun dan taman nan indah. (FW dari berbagai sumber)

Kamis, 13 Januari 2011

Berakhirnya ‘Abad Amerika’


Dunia berdiri di persimpangan. Banyak kesulitan. Banyak ketidakpastian. Namun, masa depan akan cerah, insya Allah. Tanda-tanda meredupnya era Amerika semakin tampak. Amerika melemah dan lelah. Jangkauan globalnya kehilangan pamor. Bahkan negeri seperti Korea Utara mampu menyulitkan bagi Amerika. Amerika tidak lagi mengontrol dunia sendirian. Ada Cina dan Rusia. Namun, ada tantangan yang lebih berat bagi Amerika, yaitu mempertahankan statusnya sebagai satu-satunya negara global di dunia.
Bandingkan posisi Amerika saat Perang Afgan sekarang dengan Perang Dunia II. Tidak pernah sebelumnya militer Amerika mendapatkan perlawanan sehebat ini. Tentara Amerika tersebar secara tipis, dari Asia Pasifik, Timur Tengah dan Asia Tengah. Pangkalan militernya tidak lagi disukai oleh penduduk setempat, bahkan oleh warga Jepang. Survei terakhir menunjukkan kebencian terhadap keberadaan pangkalan militer Amerika di Jepang.
Semangat militer Amerika juga menurun. Tentara yang ditugaskan tidak sedikit yang menolak; justru gembira menghadapi mahkamah militer. Dua tahun perang di Irak dan Afganistan menunjukkan menurunnya efektivitas militer negara adidaya itu. Setiap hari semakin banyak sekutu NATO yang meninggalkan Amerika. Bahkan ia tidak mampu menghentikan perlawanan Afganistan yang menggunakan amunisi tahun 70-an dan tidak pernah mendapatkan pelatihan militer pula. Perang ini sudah memakan waktu lebih lama dari kombinasi PD I, PD II dan Perang Vietnam sekaligus. Kalau saja tidak dibantu oleh Pakistan dan Iran, Amerika tentu sudah kalah sekarang. Panglima Amerika pun telah memohon kepada atasannya untuk berkompromi saja dengan Taliban.
Belum lama ini Amerika juga telah kalah di Somalia. Amerika pun gagal mempertahankan sekutunya Georgia dalam ‘Perang Ossetia Selatan’. Ekonominya bangkrut. Perang Irak telah menghabiskan 10% dari GDP (gross domestic product). Krisis telah menghancurkan industri keuangan. Pada September 2010, bank yang ke-300 telah jatuh. Perusahaan seperti Lehman Brothers telah bangkrut. Dari tahun 2007-2010, ekonomi Amerika telah kehilangan 16 triliun dolar.
Rencana untuk membangkitkan kembali ekonominya gagal. Tiga pakar terkemuka penasihat ekonomi juga telah mengundurkan diri. Amerika kini tercatat mengalami tingkat pengangguran tertinggi dalam 45 tahun terakhir, yaitu sekitar 17%. Setiap bulan 650 ribu warga Amerika kehilangan pekerjaan; 48 negara bagian Amerika juga sudah bangkrut. Hutang perkapitanya di dunia termasuk tertinggi. Setiap warga Amerika memiliki hutang 13 kali lipat dibandingkan penghasilannya. Cerita sukses keberhasilan Amerika dalam menengahi konflik global dan menghasilkan kestabilan tidak lagi terdengar.
Kepemimpinan Amerika pun termasuk yang dibenci di dunia. Insiden ‘Sepatu untuk Bush’ menggambarkan sedikit kebencian itu. Malah Bush termasuk orang yang dianggap paling berbahaya di dunia, lebih berbahaya daripada Osama Bin Laden. Kepemimpinan Bush juga dikenal sebagai Terorisme No 1. Secara moral pun Amerika telah hancur, dengan tingkat insiden AIDS tertinggi, dan pendapatan terbanyak dari bisnis pornografi remaja!
Amerika telah terjebak dalam perang yang tidak ada habisnya, yaitu ‘Perang Melawan Islam.’ Perlu dicatat, Amerika tidaklah memerangi militer resmi suatu negara, namun sekadar perlawanan milisi Taliban dan segelintir grup di Irak. Menariknya, Amerika adalah satu-satunya negara global yang tidak pernah menang dalam melawan kelompok non-negara, contohnya adalah dalam Perang Vietnam.
Namun, aspek kedua adalah perang yang dilancarkan Amerika bersifat ideologis. Amerika memerangi ideologi yang disandarkan pada ‘La ilaha illallâh Muhammadur Rasul’Allah’. Ini tercermin dari Bush yang menggunakan kata crusade’ . Adapun Obama berusaha mengelabui umat Islam di dunia dengan mengatakan, “We are not at war against Islam (Kami tidak memerangi Islam).”
Faktanya, ini adalah perang melawan waktu, sejarah dan Allah ‘Azza wa Jalla. Dengan kaca mata iman yang tajam, umat Islam menyaksikan pembantaian, pembunuhan berdarah dingin serta pelecehan kehormatan saudara-saudara muslim di Irak, Afganistan, Palestina, Pakistan, dan Kashmir secara sistematis oleh Amerika dan sekutunya.
Umat juga melihat penguasanya seperti Erdogan, Husni Mubarok, Asif Ali Zardari, Susilo, Hamid Karzai, Maliki, Hasina, Khaleda, King Abdullah, Bashar al-Asad dan lainnya adalah boneka Amerika. Mereka menggunakan cara dan upaya untuk merendahkan kehormatan umat Islam. Tidak bisa dipungkiri bahwa umat menyaksikan pengkhianatan penguasa mereka ketika Irak dan Afganistan diserbu dan diduduki, ketika kerudung dilarang, ketika al-Quran dilecehkan, dibakar dan Rasulullah dihina kehormatannya.
Semua kejadian ini memotivasi umat Islam untuk mencari perlindungan dari Amir al-Mu’minin di bawah panji Negara Islam, Khilafah. Maka dari itu, tantangan global yang kelak harus Amerika hadapi adalah umat Islam, saat ini lebih dari 81%1 menyokong dengan penuh kembalinya negara Islam Khilafah, yang dipimpin oleh Amir al-Mu’minun; sebagaimana dicontohkan oleh Abu Bakr (ra.), Umar Ibn al-Khaththab (ra.), Uthman Ibn Affan (ra.) dan Ali Ibn Abu Talib (ra.).
Perlu dipertimbangkan secara serius bahwa Amerika sangat khawatir dan takut. Padahal umat Islam saat ini belum memiliki Khilafah dan hanya sebatas menyuarakan aspirasi politik mereka untuk menyatu di bawah Khilafah. Kekhawatiran Amerika ini tampak dari pernyataan bahwa Khilafah adalah faktor kebijakan luar negeri yang utama yang akan menimbulkan dampak buruk pada keamanan Amerika dan sekutunya.
Dalam wawancara dengan BBC Radio 4, pensiunan jenderal Richard Dannatt, yang juga penasihat perdana menteri Inggris David Cameron menyatakan, “Di sini ada agenda Islam, dan kalau ini didiamkan dan tidak segera ditumpas di Afganistan, atau Asia Selatan, maka pengaruhnya akan segera meluas. Agenda ini akan tumbuh dan ini poinnya, kita bisa melihat ia akan meluas dari Asia Selatan, Timur Tengah, hingga Afrika Utara, dan menancapkan kembali panji kejayaan Khilafah Islamiyah abad 14 dan 15.”
Dinamika Politik Internasional
Situasi internasional selalu bersifat dinamis dan berubah-ubah. Dinamika situasi internasional ini terbentuk dari interaksi antarnegara yang mampu berperan secara efektif. Dari banyak negara yang aktif bermain dalam kancah internasional, hanya segelintir negara yang mampu berperan secara efektif. Efektivitas suatu negara berbanding lurus dengan kekuatan yang dimiliki negara tersebut dan terukur dari berbagai faktor.
Karena situasi masing-masing negara berbeda, bergantung pada kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, maka relasi antarnegara pun bisa bervariasi. Perubahan relasi bisa terjadi karena pecahnya perang dimana negara yang terlibat menjadi lemah yang menyebabkan turunnya kemampuan dalam mempengaruhi negara lain. Dalam situasi seperti ini, negara lain akan mengambil kesempatan untuk menggantikan posisi negara yang terlemahkan.
Di lain pihak, perubahan juga bisa terjadi di masa damai melalui proses perubahan peta kekuatan secara bertahap. Suatu negara bisa menjadi lemah dan negara lainnya bisa menguat. Namun demikian, peperangan adalah faktor pengubah yang paling efektif sebagaimana terjadi pada Austria, Jepang dan Jerman. Karena adanya variasi perubahan situasi dan kekuatan suatu negara maka situasi internasional pun berubah. Namun, perubahan ini tidak berlangsung cepat dan perlu waktu untuk mengubah situasi internasional.
Menuju Kekuatan Adidaya Global Sejati
Dunia Barat memiliki pemahaman yang keliru tentang apa artinya menjadi negara aktif, negara berpengaruh, negara adidaya ataupun negara yang memimpin dunia. Karena itu, sebelum menjelaskan apa makna menjadi negara yang memimpin dunia, perlu meninjau dan membongkar kekeliruan pemahaman Barat terhadap hal ini. Contohnya, sejarahwan AJP Taylor (1954) mendefinisikan kekuatan adidaya sebagai “pembuktian keadidayaan suatu negara adalah kekuatannya dalam berperang.” Negara adidaya dipahami sebagai negara yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi percaturan global. Lebih jauh lagi, ia memiliki kekuatan ekonomi, militer, diplomasi dan budaya, yang menyebabkan negara-negara lain yang lebih lemah mengikuti pendapat negara adidaya sebelum melakukan aksinya.
Demikian juga Knopf Organski (1958) mendefinisikan negara adidaya dalam hal kapasitas militer, ekonomi dan politiknya. Kenneth Waltz (1983), sang pendiri teori neo-realistik dari hubungan internasional, menggunakan kriteria dalam menentukan ciri negara adidaya: populasi dan wilayahnya, potensi sumberdayanya, kapasitas ekonomi, kestabilan politik dan kompetensinya serta kekuatan militernya. Pendeknya, semua itu bisa dirangkum dalam tiga ciri penting: kapasitas kekuatan, aspek wilayah, status.
Lebih jauh , Barat menggunakan istilah superpower, yang berarti suatu negara yang memiliki posisi dominan dalam skala internasional; saat ia mampu mengendalikan peristiwa dunia, mempertahankan kepen-tingannya, dan menunjukkan kekuatan yang serius untuk melindungi kepentingan-kepentingannya tersebut. Kekuatan adidaya yang mayor dipahami secara tradisional sebagai kekuatan setingkat di atas negara adidaya biasa.
Lyman Miller, peneliti pada Hoover Institution dan dosen National Security Affairs di US Naval Postgraduate School di Monterey, California, dalam tulisannya berjudul, “”Bangkitnya Cina Adidaya Baru?” menegaskan bahwa “komponen dasar negeri adidaya bisa diukur dari 4 macam kekuatan (power) yaitu: militer, ekonomi, politik dan kultur (atau yang disebut oleh ahli politik Joseph Nye sebagai ‘soft power’). Dengan demikian, menurut kriteria Barat, untuk menjadi negeri adidaya diperlukan luas dan kendali teritorial, kekuatan ekonomi, kekuatan militer, kekuatan politik, dan diplomasi.
Akan tetapi, pemahaman tentang keadidayaan ini salah dan terlihat kesan mentalitas penjajah yang lekat dengan dunia Barat. Hal ini karena, menurut pemahaman mereka, kriteria utama yang dimiliki negeri adidaya adalah kekuatan militer dan ekonomi. Ini diperkuat oleh fakta sejarah peperangan selama 230 tahun oleh Amerika dan Inggris, yang menjadi bukti mentalitas penjajah ini.
Lebih jauh lagi, penjajahan ekonomi melalui tangan Bank Dunia, IMF dan perusahaan multinasional merupakan sarana penjajahan bagi Barat untuk menjamin kesejahteraan ekonomi mereka sendiri. Pemahaman mereka ini juga melupakan potensi manusia untuk memiliki moral dan pencerahan intelektual sehingga mampu disatukan dalam tujuan bersama yaitu kebaikan untuk, keadilan bagi, dan pandangan hidup yang mengayomi semua manusia, dan bukan sekadar untuk melayani penguasa mereka.
Tidak heran ketika Kim Richard Nossal (1999) menegaskan bahwa negara harus ‘menduduki’ wilayah dalam skala benua dan memiliki kemampuan senjata nuklir. Sementara itu, Professor Paul Dukes mengatakan bahwa negara adidaya ‘harus mampu memiliki strategi global, termasuk menghancurkan dunia ini sendiri’. Jadi, keliru menggunakan istilah ‘superpower’ karena ia sudah dirasuki mentalitas penjajah.
Pemahaman yang benar tentang sumber kekuatan suatu negara tidak harus hanya bergantung pada kekuatan militer, tetapi juga pada kekuatan materi, intelektual dan moral; bila perlu, berkemampuan untuk mengendalikan kekuatan yang diperlukan meski berada di luar perbatasannya sendiri. Karena itu, kekuatan suatu negara terletak pada ideologi dan pesan umum yang ia emban dan ia sebarkan kepada dunia, termasuk kekuatan militer, ekonomi, dan ketajaman naluri diplomasi dan aksi politik.
Kekuatan ideologi, militer dan ekonomi semuanya memiliki potensi untuk mencapai dan melindungi kepentingan negara, termasuk menunjukkan pamornya dalam kancah interaksi internasional. Ini semua bisa diterjemahkan dalam bentuk pengaruh politik yang kuat. Memang, tidak dipungkiri, bahwa militer masih merupakan simbol yang efektif bagi suatu negara. Akan tetapi, ini bergantung pada keputusan negara untuk menggunakan kekuatan militer ketika sudah tidak ada opsi lain dalam melindungi kepentingannya.
Kepentingan negara dalam hal ini adalah ideologi yang diemban Negara seperti menumbuhkan atmosfir yang kondusif dalam penyebarluasan ideologinya. Kepentingan lainnya adalah bersifat moral, yakni negara berupaya menjaga pamor dan kehormatannya dalam situasi internasional; atau bisa berupa kepentingan materi seperti masalah yang terkait dengan keamanan seperti kedaulatan wilayah strategis, sumberdaya alam, dan pasar internasional untuk memasarkan produk industri dan pertanian ketika pasar domestik sudah tercukupi.
Dalam masa damai, negara yang paling berpengaruh atau negara nomor satu di dunia adalah negara yang opininya menentukan arah perjalanan dunia. Dalam hal ini, negara di peringkat berikutnya memiliki status yang sama sebagaimana negara lainnya. Pengaruh yang dimiliki suatu negara terhadap situasi internasional bergantung pada kemampuannya dalam mempengaruhi negara nomor satu tersebut.
Pengaruh negara lain terhadap negara nomor satu yang memimpin dunia berbanding lurus dengan kekuatan yang dimiliki negara tersebut, dan kemampuannya dalam mengendalikan negara nomor satu. Namun, tentu negara yang memimpin dunia tetap memiliki kendali terhadap politik internasional untuk kepentingannya sendiri.
Ruang lingkup kepentingan suatu negara bergantung pada bentuk dan ukuran negara tersebut. Contohnya, kepentingan yang bersifat regional akan tetap terbatas secara regional dan tentu akan membatasi aktifitas politiknya yang akan bersifat regional juga. Sebaliknya, Negara Global mengendalikan semua kepentingannya di seluruh penjuru dunia dan memiliki kepedulian dan interaksi yang luas. Dengan demikian, seluruh wilayah dunia adalah panggung politik baginya.
Namun, dari semua itu, kriteria yang terpenting untuk menentukan apakah suatu negara akan bangkit menjadi negara yang memimpin dunia atau yang paling aktif adalah ideologinya atau pesan universal yang dia emban. Penting untuk diingat bahwa prinsip ideologi yang diemban negara yang pernah atau sedang memimpin dunia adalah berbeda-beda. Perbedaan ideologi yang menuntun kebijakan negara tentu akan menghasilkan perbedaan dalam melaksanakan aktivitas militer, politik, dan ekonomi.
Contohnya, imperium Inggris, negeri kecil yang luas wilayahnya hanya 1,4% dari dunia dan dengan populasinya yang kecil telah mengontrol semua benua tanpa ada satu bangsa pun yang bisa menantang superioritasnya sejak abad 19 hingga abad 20. Di lain pihak, Negara Khilafah yang berawal dari kota Madinah telah meluaskan wilayahnya dan mengatur separuh belahan dunia. Tentu ada perbedaan yang sangat menyolok dari dua contoh ini dan sejarahnya pun terekam dalam ingatan manusia.
Wallahu a’lam bi ash-shawab. []
Catatan kaki:
1 Global public opinion survey by University of Maryland, 2009

Rabu, 12 Januari 2011

‘Qalbun Maridh’

“Kita ini kadang aneh,” kata ustad muda  itu di hadapan jamaahnya. “Jika lahiriah kita sakit, kita cepat-cepat cari obat. Jika sakitnya ringan, cukup pake ‘obat warung’. Jika agak berat, buru-buru ke dokter. Jika berat dan gak sembuh-sembuh, kita segera ke rumah sakit. Kita bahkan rela dirawat dan mengeluarkan banyak uang jika sakitnya parah dan mengharuskan kita masuk rumah sakit.”
“Tapi, coba kalau yang sakit batiniah kita, hati/kalbu kita. Kita kadang tak segera menyadarinya, apalagi merasakannya. Boro-boro terdorong untuk mencari obatnya,” imbuhnya.
“Orang sakit itu, biasanya makan/minum gak enak. Sakit demam saja, kadang segala yang masuk ke mulut terasa pahit di lidah. Padahal tak jarang, orang sakit disuguhi makanan yang enak-enak, yang lezat-lezat, kadang yang harganya mahal-mahal pula. Namun, semua terasa pahit, gak enak, gak selera,” tegasnya lagi.
“Sebetulnya, mirip dengan sakit lahiriah, sakit batiniah juga membuat penderitanya merasa ‘pahit’. Apa-apa gak enak, gak selera, gak semangat. Shalat berjamaah di masjid ‘pahit’. Shalat malam terasa gak enak. Shaum sunnah gak selera. Baca al-Quran, meski cuma satu-dua halaman, terasa berat. Hadir di majelis taklim, meski cuma satu jam, tak betah. Dakwah pun sering gak semangat. Padahal semua amalan tadi-jika diibaratkan makanan-adalah ‘enak’ dan ‘lezat’. Betapa tidak! Baca al-Quran saja, misalnya, meski hanya satu huruf, akan Allah balas dengan sepuluh kebaikan. Bagaimana jika kita membaca setiap hari satu ayat, satu halaman, apalagi satu juz yang bisa terdiri dari ratusan ayat, yang tentu terdiri dari ribuan huruf? Betapa enaknya, betapa lezatnya,” tegas ustad itu lagi mengajak jamaahnya merenung.
*****
Saya pun merenung. Saya coba menyelami kata-katanya yang penuh hikmah itu. Benar apa yang ustad muda itu sampaikan. Betapa kita sering tak menyadari apalagi merasakan bahwa hati/batiniah kita sering sakit. Padahal mungkin sudah lama kita tak merasakan lezatnya beribadah seperti shalat, membaca al-Quran, shaum, dll; tak merasakan enaknya berinfak di jalan Allah, berdakwah, melakukan amar makruf nahi mungkar, dll. Bahkan mungkin sudah lama hati kita pun tak lagi bergetar saat mendengar ayat-ayat Allah dilantunkan, apalagi sampai pipi kita ini basah oleh airmata, walau hanya setitik, saat ayat-ayat Allah diperdengarkan. Padahal Allah SWT telah mengabarkan bahwa andai  al-Quran diturunkan pada gunung-
gunung yang kokoh, niscaya dia akan menjadi hancur-lebur karena takut kepada Allah (QS al-Hasyr: 21).
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah-
rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa keringnya mata dari tangisan adalah karena kerasnya hati. Hati yang keras adalah hati yang paling jauh dari Allah.” (Ibn al-Qayyim, Bada’i’ al-Fawa’id, III/743).
Ibnu al-Qayyim rahimahullah membagi hati menjadi tiga jenis. Pertama: Qalbun Mayyit (Hati yang Mati). Itulah hati yang kosong dari semua jenis kebaikan. Sebabnya, setan telah ‘merampas’ hatinya sebagai tempat tinggalnya, berkuasa penuh atasnya dan bebas berbuat apa saja di dalamnya. Inilah hati orang-orang yang kafir kepada Allah.
Kedua: Qalbun Maridh (Hati yang
Sakit). Qalbun maridh adalah hati yang
telah disinari cahaya keimanan. Namun, cahayanya kurang terang sehingga ada sisi hatinya yang masih gelap, dipenuhi oleh kegelapan syahwat dan badai hawa nafsu. Karena itu, setan masih leluasa keluar-masuk ke dalam jenis hati seperti ini. Orang yang memiliki hati yang sakit, selain tak merasakan lezatnya ketaatan kepada Allah SWT, juga sering terjerumus ke dalam kemaksiatan dan dosa, baik besar ataupun kecil. Hati yang seperti ini masih bisa terobati dengan resep-resep yang bisa menyehatkan hatinya. Namun tak jarang, ia tidak bisa lagi mengambil manfaat dari obat yang diberikan padanya, kecuali sedikit saja. Apalagi jika tak pernah diobati, penyakitnya bisa bertambah parah, yang pada akhirnya bisa berujung pada ‘kematian hati’.
Ketiga: Qalbun Salim (Hati yang Sehat)
Qalbun Salim adalah hati yang
dipenuhi oleh keimanan; telah hilang darinya badai-badai syahwat dan kegelapan-kegelapan maksiat. Cahaya keimanan itu terang-benderang di dalam hatinya. Orang yang memiliki hati semacam ini akan selalu merasakan nikmatnya beribadah (berzikir, membaca al-Quran, shalat malam, dll); merasakan lezatnya berdakwah; merasakan enaknya melakukan amar makruf nahi mungkar; bahkan merasakan nikmatnya berperang di jalan Allah SWT.
Di antara sedikit tanda orang yang memiliki hati yang sehat adalah mereka yang Allah gambarkan dalam firman-Nya: Jika dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, mereka tersungkur dengan bersujud dan menangis (TQS Maryam: 58).
Imam Al-Qurthubi berkata, “Di dalam ayat ini terdapat bukti
bahwa ayat-ayat Allah memiliki
pengaruh terhadap hati.” (al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 11/111).
Inilah juga gambaran hati para salafush-shalih dan generasi orang-orang terbaik dari kalangan umat ini. Jika salah seorang dari mereka melewati ayat-ayat yang menceritakan neraka, hati mereka seperti terasa akan copot karena takut. Jika mereka melewati ayat-ayat yang mengisahkan surga dan kenikmatannya, terasa persendian mereka gemetar karena khawatir mereka akan diharamkan masuk surge dan merasakan kenikmatan yang kekal itu. Dua keadaan inilah yang sering menyentuh hati mereka hingga mereka sering meneteskan airmata. Air mata inilah yang justru akan menyelamatkan mereka dari azab neraka sekaligus memasukkan mereka ke dalam surga. Nabi saw. bersabda, “Ada dua mata yang tak akan disentuh api neraka: mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang tak tidur di malam hari karena berjaga di jalan Allah.” (HR at-Tirmidzi).
Jika kita memiliki hati yang sehat seperti ini, bersyukur dan bergembiralah. Itulah tanda bahwa hati kita sehat (qalbun salim). Hanya hati jenis inilah yang akan diterima Allah SWT saat kita menghadap kepada-Nya (QS asy-Syura: 88-89).
Namun, jika hati kita termasuk hati yang sakit, maka segeralah obati dengan tobat, jaga diri dari maksiat, dan perbanyaklah taqarrub kepada Allah SWT dengan selalu taat. Jangan biarkan hati kita makin parah sakitnya, karena bisa-bisa akhirnya hati kita menjadi mati. Na’udzu billah.
Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. [abi]

Menikmati ‘Taman Surga’

Taman, di manapun, selalu diasosiasikan sebagai tempat yang indah, penuh warna, dengan ragam pepohonan dan bunga warna-warni, harum semerbak; baik ia ada di depan atau belakang rumah mewah; baik ia ada di sekeliling istana para raja; atau mungkin ia merupakan tempat tersendiri yang sengaja dirancang sebagai tempat rekreasi dan wisata. Taman selalu diasosiasikan dengan keindahan. Tak ada taman yang diasosiasikan dengan keburukan. Demikianlah realitas taman di dunia ini.
Namun demikian, seindah apapun taman di dunia tak pernah ada yang kemudian disebut dengan ‘taman surga’. Karena itu, menarik saat justru Baginda Rasulullah SAW menyebut-nyebut adanya ‘taman surga’, bukan di surga, tetapi di dunia ini. Anas bi Malik menuturkan bahwa Baginda Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para Sahabat, “Jika kalian melewati taman-taman surga, makan dan minumlah di dalamnya.” Para Sahabat bertanya, “Apakah taman surga itu, wahai Rasulullah?” Jawab beliau, “Halaqah-halaqah (majelis-majelis) ddzikir.” (HR at-Tirmidzi).
Melalui hadits ini, tegas Rasulullah menyamakan majelis ddzikir dengan taman surga, tentu dari sisi kemuliaan dan keutamaannya, sekaligus menyebut orang yang ada di majelis-majelis ddzikir sebagai orang-orang yang sedang menikmati hidangan di taman-taman surga itu (Syarh Ibn Bathal, II/5).
Keutamaan taman surga tentu tak bisa dibandingkan dengan taman dunia. Sebab, surga itu sendiri dan apa saja yang ada di dalamnya belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga atau terbersit di dalam kalbu manusia (Tafsir ath-Thabari, XVII, 346).
Lalu apa yang dimaksud dengan majelis dzikir? Dalam hadits lain Rasul SAW menyebut taman-taman surga itu dengan majelis-majelis ilmu. Inilah yang juga dipahami oleh para Sahabat seperti Abu Hurairah ra dan Ibn Mas’ud ra (Fauzi Sinaqart, At-Taqarrub iilla Allah). Imam al-Qurthubi juga menyebut majelis-majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis ilmu tentang halal dan haram. Adapun menurut Imam a-Ghazali, yang dimaksud adalah majelis ilmu-ilmu akhirat; ilmu tentang Allah SWT dan kekuasaan-Nya serta penciptaan-Nya (Faydh al-Qadir, I/696).
*****
Terkait ilmu dan keutamaan majelis ilmu, juga kemuliaan para pencarinya, diterangkan oleh banyak hadits, selain hadits di atas. Baginda Rasulullah SAW, misalnya, pernah bersabda, “Mencari ilmu adalah kewajiban setiap Muslim.” (HR Muslim).
Katsir bin Qays berkata:
Saya pernah duduk bersama Abu ad-Darda di Masjid Damakus. Tiba-tiba datang seseorang kepada dia dan berkata, “Wahai Abu ad-Darda, saya datang kepada engkau dari Madinatur Rasul SAW demi memastikan suatu hadits yang sampai kepada diriku, bahwa engkau pernah membicarakan hadits itu dari Rasul SAW, yang tentu sangat aku butuhkan.”
Abu ad-Darda lalu berkata, “Aku memang pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah akan membuka bagi dirinya salah satu jalan di antara jalan-jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat benar-benar meletakkan sayap-sayap mereka karena ridha kepada pencari ilmu. Sesungguhnya seorang yang berilmu (ulama) benar-benar dimintakan ampunan kepada Allah bagi dirinya oleh siapa saja yang ada di langit dan di bumi, hingga bahkan ikan-ikan di air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu atas orang yang suka beribadah adalah seperti keutamaan cahaya bulan purnama atas cahaya seluruh bintang di malam hari. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan dinar atau dirham, tetapi mewariskan ilmu. Karena itu, siapa saja yang mengambil ilmu, berarti dia telah mengambil sesuatu yang amat berharga.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad).
Generasi salafush-shalih adalah orang-orang yang amat memahami keutamaan ilmu dan majelis ilmu. Lalu bagaimana dengan generasi umat Islam hari ini? Sayang, meski kebanyakan majelis ilmu itu gratis, padahal menjanjikan keutamaan yang luar biasa saat hadir di dalamnya sebagaimana sabda Baginda Rasulullah SAW di atas, tak banyak orang yang berbondong-bondong untuk menghadirinya. Buktinya, meski majelis ilmu menjamur di mana-mana, biasanya yang hadir jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Bandingkan dengan “majelis sepak bola” atau “majelis konser musik”; meski setiap orang harus mengeluarkan puluhan atau bahkan ratusan ribu untuk membeli karcis masuk, toh peminatnya selalu membludak walau harus berdesak-desakan. Padahal jelas, “majelis-majelis” semacam ini tak menjanjikan apa-apa selain kesenangan sesaat. Itulah realitas generasi umat hari ini. Mereka benar-benar telah ‘buta’, tak lagi dapat melihat keutamaan dan keindahan taman-taman surga. Na’udzu billah min dzalik

Demokrasi Melahirkan Banyak Pejabat ‘Kriminal’

[Al Islam 539] Demokrasi ternyata gagal menghasilkan kepala daerah yang jujur, bersih, dan tahu malu.” Demikian kutipan dari editorial sebuah media harian nasional (MI, 10/1/2011). Ini adalah sebuah ungkapan jujur tentang demokrasi. Sekalipun bukan hal baru, ungkapan tersebut mengingatkan kembali umat Islam tentang hakikat dan fakta dari sistem demokrasi yang diadopsi oleh negeri ini.
Dalam berbagai forum, Indonesia mendapat pujian sebagai negara demokratis. Namun, apakah dengan status demokratisnya negeri ini telah mampu melahirkan kepemimpinan yang amanah? Apakah demokrasi bisa mewujudkan kesejahteraan dan keadilan dalam seluruh aspek kehidupan warga negaranya?
Tentu, kita merasa miris kalau melihat fakta aktual: sepanjang tahun 2010 tercatat 148 dari 244 kepala daerah menjadi tersangka. Kebanyakan tersangkut kasus korupsi. Bahkan sebagian dari pemenang Pilkada 2010 berstatus tersangka dan meringkuk di penjara. Contoh nyata, Jefferson Soleiman Montesqiu Rumajar terpilih menjadi Walikota Tomohon-Sulut periode 2010-2015 dan dilantik oleh Gubernur Sulawesi Utara, Sinyo Harry Sarundajang, pada rapat paripurna istimewa DPRD Tomohon, di Jakarta, Jumat (7/1). Padahal Jefferson sedang duduk di kursi pesakitan; ia dijadikan tersangka oleh KPK karena tindak pidana Korupsi. Yang lebih menggelikan, Jeferson lalu dengan gagah perkasa melantik sejumlah pejabat Kota Tomohon di LP Cipinang. Baik yang melantik dan yang dilantik seolah sudah putus urat nadi rasa malunya. Jajaran pejabat yang akan mengurus rakyat dilantik oleh seorang terdakwa yang tersandung kasus ketika mengelola uang rakyat.
Jadi, rasanya omong-kosong kita berharap bahwa sistem demokrasi bisa melahirkan para pemimpin yang amanah. Begitu juga terkait kesejahteraan. Pasalnya, demokrasi hanya menjadi tempat bagi orang-orang dan kelompok oportunis untuk mentransaksikan kepentingan-kepentingan perut dan nafsunya.
Biaya Mahal, Hasilnya Nol
Selama tahun 2010, tercatat sebanyak 244 Pilkada dilangsungkan dengan menelan biaya lebih dari Rp 4,2 triliun. Perlu dicatat, beberapa Pilkada akhirnya juga mengalami pengulangan pada tahun 2011 seperti kasus di Tangerang Selatan, setelah MK menerima gugatan ihwal banyaknya kecurangan dalam pelaksanaannya. Biaya ini jauh lebih besar daripada Pilkada tahun sebelumnya. Pilkada Tahun 2007 yang berlangsung di 226 daerah saja, yakni di 11 provinsi dan 215 kabupaten/kota, menelan dana sekitar Rp 1,25 triliun. Penghamburan uang rakyat itu terjadi di tengah-tengah kondisi yang sangat memilukan; pada tahun 2010 tercatat lebih dari 31 juta (13,3%) dari 237 juta penduduk Indonesia dalam kondisi miskin luar biasa. Dalam hal ini, hasil Pilkada tak pernah mengubah nasib rakyat. Yang berubah nasibnya hanyalah para penguasa dan kroni-kroninya saja.
Pilkada yang bertujuan menyertakan rakyat secara langsung untuk menentukan pemimpinnya sendiri di tingkat lokal/daerah pada faktanya juga telah melahirkan dampak negatif. Masyarakat, misalnya, menjadi terkotak-kotak bahkan saling berhadap-hadapan. Hubungan sosial menjadi renggang. Tak jarang proses Pilkada ini melahirkan bentrokan yang mengarah pada tindakan kekerasan.
Semua itu niscaya terjadi karena banyak faktor. Pertama: Banyak aturan Pilkada yang tumpang-tindih. Hal ini akibat terlalu besarnya dominasi partai politik dalam Pilkada. Kedua: Masih lemahnya pendidikan politik untuk masyarakat. Lemahnya pemahaman politik masyarakat ini ditunjukkan dengan masih banyaknya incumbent (pejabat lama) yang terpilih kembali. Padahal incumbent ini telah gagal dalam mensejaherakan rakyatnya. Ketiga: terjadi kecurangan dalam proses pemilihan tanpa penyelesaian hukum yang adil, misalnya, menggunakan politik uang. Hal ini jelas menimbulkan kecemburuan di kalangan calon yang “miskin”. Faktanya, banyak Pilkada berakhir di pengadilan.

Demokrasi: Akar Masalah

Secara sederhana, politik saat ini diartikan sebagai proses interaksi pemerintah dengan masyarakat untuk menentukan kebijakan publik (public policy) demi kebaikan bersama. Sistem politik yang dianut Indonesia adalah demokrasi. Demokrasi kini telah menjelma menjadi sebuah paham, bahkan semacam ‘agama’ yang menglobal, yang nyaris tanpa koreksi. Gagasan dasar demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Intinya, kewenangan membuat hukum ada di tangan manusia. Demokrasi selalu dianggap sebagai tatanan atau sistem politik yang paling ideal. Dalam sistem demokrasi, rakyat diasumsikan akan benar-benar berdaulat dan mendapatkan seluruh aspirasinya. Dari sana, melalui proses politik yang demokratis, lantas dibayangkan bakal tercipta sebuah kehidupan masyarakat yang ideal: adil, damai, tenteram dan sejahtera.
Namun, semua itu hanyalah bayangan, bahkan tipuan. Dalam tataran praktik gagasan ideal itu tak pernah terwujud. Dalam negara demokrasi,
yang sering berlaku adalah hukum besi oligarki, yakni sekelompok penguasa (dan pengusaha) saling bekerjasama untuk menentukan kebijakan politik, sosial
dan ekonomi negara tanpa harus menanyakan bagaimana aspirasi rakyat yang sebenarnya. Partai politik dan wakilnya di Parlemen bekerja lebih untuk memenuhi aspirasinya sendiri.
Maka dari itu, tidak ada yang namanya masyarakat yang adil, damai, tenteram dan sejahtera dalam sistem demokrasi. Yang ada justru ketidakadilan yang makin menganga. Kesejahteraan memang ada, tetapi hanya untuk segelintir elit yang berkuasa. Sebaliknya, kebanyakan rakyat sengsara dan menderita; jauh dari gambaran ideal yang diharapkan.
Bagaimana bisa diharap ada keadilan bila sistem demokrasi malah melahirkan banyak pejabat dan penguasa yang lebih pantas disebut penjahat. Mereka adalah para tersangka berbagai kasus tindak pidana (terutama korupsi). Ini karena banyak dari proses politik berlangsung secara transaksional. Pragmatisme politik baik demi kekuasaan ataupun uang lebih banyak berperan. Kekuasaan diperlukan untuk mendapatkan uang. Uang diperlukan untuk mendapatkan kekuasaan atau kekuasaan yang lebih besar lagi. Kekuasaan dan uang juga diperlukan untuk menutup seluruh kebusukan yang telah dilakukan selama berkuasa.
Dalam kondisi demikian, kepentingan rakyat dengan mudah terabaikan. Bagi penguasa, rakyat hanyalah alat untuk meraih kuasa. Akhirnya, bukan kedaulatan rakyat yang menjadi ‘ruh’ dari sistem demokrasi, melainkan kedaulatan kapital dari para pemilik modal atau penguasa yang didukung oleh para pemodal. Inilah kenyataan umum di negara-negara penganut demokrasi, tanpa kecuali, termasuk di AS dan Eropa sebagai kampiun demokrasi.
Oleh karena itu, pujian terhadap Indonesia yang dianggap sebagai ‘jawara demokrasi’ dengan julukan “Indonesia’s Shining Muslim Democrazy” (Demokrasi Muslim Bersinar di Indonesia) hanya karena dianggap sukses menyelenggarakan Pileg dan Pilpres tahun 2004 dan 2009 secara damai perlu dipertanyakan. Sebab faktanya, keberhasilan itu tidak selaras dengan perbaikan hidup rakyat. Justru melalui pintu demokratisasilah liberalisasi di semua sektor kehidupan terjadi, dengan segala implikasi buruknya yang makin sulit dikendalikan.
Tak aneh bila kemudian banyak orang melihat demokrasi sesungguhnya adalah sistem politik yang bermasalah. Tokoh Barat sendiri, Winston Churchil, menyatakan, “Democracy is worst possible form of government (Demokrasi adalah kemungkinan terburuk dari sebuah bentuk pemerintahan).”
Benjamin Constan juga berkata, “Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”
Jadi, benar bahwa problem politik, bahkan juga problem ekonomi, problem sosial dan budaya (perilaku amoral) berawal dari demokrasi, yang tragisnya justru dianggap sebagai sistem politik yang paling baik. Na’udzu billah.
Saatnya Kembali ke Sistem Islam
Dasar politik yang diterapkan di Indonesia adalah sekularisme, paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Hukum bersumber dari akal dan hawa nafsu manusia melalui proses demokrasi. Hukum dibuat oleh segelintir orang yang tidak lepas dari kepentingan, baik kepentingan uang ataupun kekuasaan.
Selama sekularisme dengan demokrasinya yang diterapkan, selama itu pula yang terjadi adalah kerusakan dan keterpurukan. Hanya syariah Islam yang bisa menjamin keadilan karena ia berasal dari Zat Yang Mahaadil. Tetap menerapkan sekularisme dengan demokrasinya berarti meninggalkan hukum terbaik, yakni hukum Allah SWT, sebagaimana al-Quran menegaskan:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Untuk itu, negeri ini harus segera mengubur sekularisme, lalu menggantinya dengan akidah dan syariah Islam. Segera tinggalkan demokrasi dengan kedaulatan rakyatnya, lalu ubah dengan sistem Khilafah dengan kedaulatan hukum syariahnya. Inilah yang akan menjamin kesejahteran, keadilan dan keberkahan di dunia serta kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Wallahu a’lam. []
KOMENTAR AL-ISLAM
Kesenjangan pendapatan di antara kelompok masyarakat di Indonesia terus melebar. Ini terjadi lantaran belum ada keseriusan Pemerintah untuk menciptakan ekonomi yang berkeadilan (Media Indonesia, 7/1/2011).
Hanya ilusi, mengharapkan keadilan dari sistem ekonomi liberal-kapitalistik. Sistem ini hanya menjamin kesejahteraan bagi orang-orang yang ada dalam oligharki kekuasaan. Rakyat hanya jadi ’sapi perah’ penguasa dan wakil rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang memberatkan mereka: pajak, pencabutan subsidi BBM, kenaikan tarif listrik, dll. Solusi final problem ini hanya dengan menegakan sistem ekonomi Islam dalam institusi Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah, yang menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan.

2011 : Harapan Membentang Luas


Tahun 2010 , sama dengan tahun-tahun sebelumnya kondisi umat Islam masih menyedihkan. Namun penderitaan ini bukanlah tanpa akhir. Muncul kesadaran yang semakin menguat untuk menegakkan khilafah dan syariah, bersamaan dengan menguatnya tanda-tanda kehancuran peradaban Kapitalisme Barat. Hal ini membuat kita semakin optimis. Harapan ke depan masih membentang luas.
Survei terbaru Pew Research Center (desember 2010) menunjukkan mayoritas muslim di Indonesia, Mesir, Nigeria dan Yordania yang paling antusias untuk memberlakukan hukum Islam di negaranya. Lebih dari 3/4 responden survei di negara-negara itu memberikan pandangan yang positif terhadap peran Islam dalam politik. Hal ini mengokohkan survey-survey sebelumnya yang juga menunjukkan angka trend yang meningkat untuk perjuangan syariah dan khilafah.
Tanda-tanda kebangkrutan Amerika banyak dinyatakan intelektual Barat sendiri. Moris Berman dalam bukunya, Dark Ages America: The Final Phase of Empire (Norton, 2006) : Imperium Amerika segera akan rubuh. Ia menggambarkan Amerika sebagai sebuah kultur dan emosional yang rusak oleh peperangan, menderita karena kematian spiritual dan dengan intensif mengeskpor nilai-nilai palsunya ke seluruh dunia dengan menggunakan senjata. Republik yang berubah menjadi imperium itu berada di dalam zaman kegelapan baru dan menuju rubuh sebagaimana dialami Kekaisaran Romawi
Kebangrutan ideologi ini tidak bisa dilepaskan dari ambruknya ekonomi Amerika. Hal ini berpengaruh terhadad kekuatan militer AS yang memang sangat tergantung pada ekonomi. Belajar dari jatuhnya negara adi daya Romawi dan Soviet , melemahnya kekuatan ekonomi, mempercapat kejatuhan mereka , meskipun secara militer mereka masih kuat. Akibatnya, pengaruh AS di dunia internasional pun semakin menurun.
Krisis ekonomi Amerika tampak dari semakin meningkatnya utang luar negeri negara itu. Laporan Departemen Keuangan AS menyebutkan bahwa utang yang ditanggung pemerintah AS saat ini sudah melampaui angka 13 triliun USD. Di akhir masa kepresidenan Obama tahun 2012, utang ini akan meningkat menjadi 16 triliun.
Jumlah sebesar itu lebih tinggi seratus persen dibanding total produksi nasional bruto AS. Richard Haas, Kepala Dewan Hubungan Luar Negeri AS , mengatakan beban utang yang ditanggung pemerintah sudah sampai ke angka sangat fantastis dan tertinggi sepanjang sejarah. Menurutnya, AS tidak akan mampu melunasi seluruh utang ini.
Christopher Lynn Hedges mantan koresponden perang pada surat kabar “New York Times”, juga pemenang “Pulitzer Prize” mengungkap tanda-tanda runtuhnya Amerika Serikat sangat jelas dan telanjang. Dalam bidang ekonomi Amerika, dia menyatakan : Amerika sedang melalui apa yang disebut dengan “kudeta perusahaan”, sistem pendidikan kita telah hancur, infrastruktur kita telah terkikis, dan selama tidak ada perlawanan dari rakyat, maka kita sedang menuju pada sistem neo-feodalism.
Kegagalan dalam Amerika dalam perang Irak dan Afghanistan, menjadi indikasi melemahnya kekuatan negara ini. Meskipun merupakan negara militer yang kuat, negara ini kesulitan memenangkan dua medan perang ini. Padahal yang dihadapi Amerika di Irak adalah milisi mujahidin yang jumlahnya tidak begitu banyak. Sementara Afghanistan merupakan negara miskin di dunia dengan persenjataan militer yang sudah sangat ketinggalan.
Penting kita perhatikan , Afghanistan dalam sejarahnya menjadi kuburan bagi imperium besar dunia. Seperti yang dikatakan Robert Fisk , Amerika sepertinya tidak belajar dari sejarah. Bagaimana imperium besar dunia seperti Soviet gagal menaklukkan Afghanistan, dan itu menjadi salah satu penyebab kehancuran Soviet.
‘Ala kulli hal, kita dalam kondisi – injure time- : kapitalisme diambang kehancuran, dukungan umat terhadap syariah semakin meningkat. Semua ini memberikan harapan besar bagi tegaknya kembali negara Adi Daya Khilafah Islam. Dibutuhkan kesungguh-sungguhan untuk memperjuangkan khilafah. Keseriusan kita dalam berjuang disertai dengan ketaqwaan yang tinggi kepada Allah SWT menjadi kunci pertolongan Allah SWT bagi kemenangan perjuangan ini. Allahu Akbar (Farid Wadjdi)

Pejuang Syari'ah & Khilafah