Editorial sebuah media masa nasional memberikan julukan baru untuk Indonesia: negeri lelucon! Julukan ini melengkapi gelar-gelar sebelumnya mulai dari negara gagal, negara para koruptor sampai yang sangat keras: negara biadab! Betapa tidak, di negeri lelucon ini seorang tersangka penggelap pajak biasa berkeliaran bebas bertamasya; bukan hanya Bali, tetapi sampai ke Kuala Lumpur dan Makau.
Gayus membuktikan prinsip penting Kapitalisme: uang bisa membeli segalanya. Prinsip ini melahirkan realita: kepada uang hukum bersujud, yang melumpuhkan pilar-pilar hukum mulai dari polisi, jaksa hingga hakim. Dengan kekuatan uang pula, seorang terpidana di di Bojonegoro, Jawa Timur, dengan mudahnya membayar seluruh otoritas penegakan hukum untuk menggantikannya masuk bui. Ini melengkapi lelucon sebelumnya saat Ayin membawa pembantu dan perawat kecantikannya ke penjara yang ia sulap menjadi kamar mewah.
Di negeri lelucon ini pula, terdakwa korupsi yang tengah mendekam di Penjara Cipinang, Jefferson Rumajar dilantik sebagai walikota Tomohon, Sulawesi Utara. Sang walikota pun dengan gagah tanpa malu melantik pejabat bawahannya. Semua itu difasilitasi oleh negara.
Kondisi berbeda dialami oleh terdakwa rakyat biasa; babak belur dihajar di penjara, terpaksa tinggal di kamar penjara kelas murah karena tak punya uang, tentu dengan fasilitas serba buruk. Demikian pula yang dialami terdakwa ‘teroris’ yang penuh rekayasa. Seperti yang dikatakan Mahendradata (Dewan Pembina Tim Pembela Muslim), jangankan bisa keluar-masuk sampai 68 kali seperti Gayus, hanya untuk menerima jengukkan sama sekali tak mudah. Contoh kasus, sekadar untuk bertemu dengan perempuan lemah yang tertembak kakinya, Putri Munawarroh, harus melalui sekian banyak izin sampai ke tingkatan jenderal.
Berulang-ulang kita menyatakan, semua ini berpangkal pada sistem Kapitalisme yang menjadikan uang sebagai tuhan baru. Semuanya bersujud kepada uang. Hukum bisa dibuat, diatur dan direkayasa dengan kekuatan uang. Aparat pun tunduk kepada uang.
Terjadi pula politik transaksional dengan prinsip ‘politic to money, money to politic’. Demikian terus berputar, bagaikan lingkaran setan.
Bisakah Islam menuntaskan semua persoalan ini? Jelas bisa! Sebab, Islam adalah petunjuk dari Allah SWT bagi manusia untuk menyelesaikan persoalan hidup mereka. Islam telah menetapkan tiga pilar penting untuk membangun sistem yang bersih dan adil. Pertama: ketakwaan kepada Allah SWT. Seperti yang diungkapkan oleh Imam Hasan al-Bashri, takwa adalah takut dan menghindari apa saja yang Allah haramkan serta menunaikan apa saja yang Dia wajibkan. Dengan ketakwaan, seorang akan takut berbuat maksiat dan kejahatan. Sebab, dia tahu ada Allah SWT yang mengawasi dirinya dan ada hari pertanggung jawaban saat dia akan menerima konsekuensi atas segala tindakannya.
Masalahnya, ketakwaan inilah yang dikikis habis dalam sistem Kapitalisme. Dengan prinsip sekularisme, agama dijadikan hanya untuk urusan pribadi. Sebaliknya, masalah hukum, politik dan ekonomi tidak tersentuh aturan Allah SWT. Munculah pribadi-pribadi yang (kelihatan) hanya takut kepada Tuhan saat dia shalat atau di masjid, namun mencampakkan hokum-hukum-Nya saat di luar masjid, ketika berekonomi atau berpolitik.
Kedua: penegakkan hokum oleh negara. Hukum dibutuhkan untuk mengatur manusia, mencegah penyimpangan, memberikan efek jera dan memberikan keadilan. Namun, tegaknya hukum sangat bergantung pada substansi hukumnya, apakah benar atau tidak, dan bagaimana hukum itu diterapkan.
Masalahnya, dalam sistem Kapitalisme, selain dalam tataran pelaksanaannya, substansi hukumnya sendiri bermasalah. Sumber hukum tertinggi dalam demokrasi merujuk pada hawa nafsu dan akal terbatas manusia. Hukum kemudian tunduk pada segala kepentingan pribadi keluarga, kelompok, atau partai. Karena dalam Kapitalisme uang atau kapital adalah segalanya, jadilah mencari uang sebanyak-banyuk menjadi tujuan dari hukum. Senjata untuk mewujudkan semua itu lagi-lagi adalah kekuatan uang.
Sebaliknya, dalam Islam sumber hukum sejati adalah Allah SWT. Segala sesuatu dinilai berdasarkan halal dan haram sesuai al-Quran dan as-Sunnah. Segala bentuk interest, hawa nafsu manusia, harus tunduk pada hukum Alah SWT; bukan sebaliknya. Hal ini dipastikan akan memberikan kebaikan kepada manusia. Sebab hukum tersebut bersumber dari Allah yang Mahaadil dan Mahasempurna. Kebaikan hukum Allah SWT bukan hanya untuk segelintir orang, tetapi untuk seluruh manusia, Muslim atau non-Muslim (rahmatan lil ‘alamin).
Ketiga: amar makruf nahi mungkar. Manusia mungkin saja keliru. Manusia mungkin saja menyimpang dari aturan Allah SWT. Karena itulah, amar makruf nahi mungkar sangat penting dalam sebuah masyarakat. Tanpa ada pemimpin yang mengkoreksi, rakyat mungkin saja terjerumus dalam kesalahan. Demikian juga sebaliknya; tanpa ada koreksi dari rakyat, pemimpin akan selalu merasa benar sendiri, akhirnya bersikap otoriter.
Kewajiban mengoreksi penguasa bahkan disebut oleh Rosululah SAW sebagai afdhal al-jihad (jihad terbaik) dan siapapun yang terbunuh karenanya diberi gelar sayyid asy-syhada’ (pemimpin para syuhada).
Muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) menjadi sangat penting. Sebab, kekeliruan kebijakan penguasa akan memberikan dampak yang sistematis dan berpengaruh luas di tengah-tengah masyarakat, seperti kebijakan kenaikan BBM yang berdampak luar biasa menambah beban derita rakyat. Karena itu, dalam Islam ruang bagi keberadaan kelompok atau partai yang bertugas mengoreksi penguasa diberikan seluas-luasnya. Mengoreksi penguasa dalam Islam didasarkan pada keimanan dan kecintaan; agar penguasa itu tetap on the track dalam kebijakannya. Dasarnya adalah al-Quran (QS Ali Imran: 104), yakni dakwah Islam dan amar makruf nahi mungkar.
Ketiga pilar inilah yang akan mengubah Indonesia dari negara lelucon, menjadi negara sejati. Rakyat pun akan mendapat keadilan hukum, politik yang menjadi pelayan rakyat dan ekonomi yang mensejahterakan. Namun, tiga pilar ini hanya akan terwujud secara sempurna dalam sistem Khilafah sebagai institusi politiknya. [Farid Wadjdi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar