Namun kini, setelah sistem Kapitalisme semakin tampak kebobrokannya secara telanjang, sementara seruan penegakan syariah dan Khilafah semakin menguat di berbagai belahan dunia, mereka mulai menggeser perang pemikiran tersebut pada derajat intelektual yang lebih rendah, yakni mereka berupaya membangun brand image negatif bahwa perjuangan penegakan syariah dan Khilafah identik dengan perbuatan kriminal. Misal, mereka membangun opini publik bahwa pelaku terorisme di berbagai tempat di dunia ini dilatarbelakangi oleh perjuangan penegakan Negara Islam (baca: Khilafah). Dengan itu mereka berharap nantinya akan terjadi penolakan massif dari masyarakat terhadap ide penegakan syariah dan Khilafah. Semua itu tentu bermuara pada satu tujuan, yaitu memberangus Islam sebagai kekuatan politik ideologis serta menghalangi tegaknya Khilafah Islamiyah dan penerapan syariah Islam secara kaffah.
Kriminalisasi Negara Islam
Proses kriminalisasi terhadap ide syariah dan Negara Islam atau Khilafah akhir-akhir ini makin menguat dan terbuka. Tidak hanya terjadi di negeri-negeri Barat yang menjadi sentral kendali Kapitalisme global, namun juga terjadi di negeri-negeri Islam termasuk Indonesia. Berikut sebagian fakta proses kriminalisasi tersebut yang tampak dilakukan secara sistematik.
Pertama: dalam jumpa pers di Markas Besar Polri, Jakarta, Jumat (24/9), Kapolri Jenderal (Pol.) Bambang Hendarso Danuri menyatakan, “Aksi teroris yang dilakukan sejak tahun 2000 hingga kasus terakhir penembakan tiga polisi di Mapolsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumut, tahun 2010 memiliki target mengambil alih kekuasaan negara untuk menegakkan Negara Islam” (Kompas, 25/9/2010).
Kapolri juga menambahkan bahwa para tersangka teroris menganggap harta hasil perampokan sebagai fai yang sah dan halal, karena harta tersebut didapat dari orang kafir.
Sebelumnya, Kapolri juga mengungkapkan bahwa rencana kelompok teroris yang berlatih di pegunungan di Aceh Besar digunakan untuk melancarkan aksi pembunuhan terhadap para pejabat negara saat upacara Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2010. Ketika semua pejabat negara berhasil dibunuh, termasuk Presiden dan Wakil Presiden, kata Kapolri, kelompok teroris akan mendeklarasikan Negara Islam Indonesia (Kompas.com, 14/5/2010).
Hal ini yang kemudian menjadi alasan dan pembenaran atas tindakan aparat Densus 88 yang membabi-buta terhadap orang-orang yang disangka pelaku tindak pidana terorisme. Selama kurun waktu 2000-2010 saja, sebanyak 44 orang yang disangka teroris tewas ditembak aparat. Terakhir, Densus 88 secara arogan dan kasar menginjak-injak tubuh Khairil Ghazali yang sedang menunaikan shalat magrib saat Densus yang berjumlah sekitar 30 orang dan bersenjata lengkap menyerbu dan mendobrak rumahnya. Ghazali dituding sebagai bagian jaringan teroris yang melakukan perampokan Bank CIMB Niaga di Medan.
Kedua: Presiden SBY juga mengeluarkan pernyataan resmi yang mengaitkan kasus terorisme dengan pendirian Negara Islam. Dalam keterangan persnya di Bandara Halim Perdanakusuma, Senin (17/5/2010), sebelum bertolak ke Singapura dan Malaysia, Presiden SBY menegaskan bahwa tujuan dari para teroris adalah mendirikan Negara Islam. Padahal, menurut SBY, perdebatan tentang pendirian Negara Islam sudah rampung dalam sejarah Indonesia. Menurut dia juga, aksi teroris telah bergeser dari target asing ke pemerintah dan menolak kehidupan berdemokrasi. Karena itu, menurut Presiden keinginan mendirikan Negara Islam dan sikap anti demokrasi tidak bisa diterima rakyat Indonesia.
Pernyataan Presiden ini sejalan dengan proyek kontra-terorisme yang berada di bawah Kementerian Koordinator Polhukam. Paradigma dasar yang dibangun pada proyek kontra-terorisme ini adalah mengaitkan terorisme dengan pemahaman agama yang dianggap radikal dan fundamentalis. Berdasarkan asumsi paradigma ini, mereka kemudian membangun strategi deradikalisasi agama. Misal, melalui pengarusutamaan tokoh-tokoh Islam moderat, penerbitan buku-buku Islam moderat, perubahan kurikulum pesantren atau sekolah. Islam moderat yang dimaksudkan adalah Islam yang bisa menerima ide-ide Barat seperti pluralisme, liberalisme, sekularisme dan demokrasi.
Ketiga: pada 27-28 Juli 2010 lalu, Pemerintah mengadakan Simposium Nasional yang bertema “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme”, di Hotel Le Meridien Jakarta.
Hasil rekomendasi simposium tersebut di antaranya adalah dukungan kepada Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) untuk memainkan peran selaku focal point serta koordinator pencegahan dan pemberantasan teror secara komprehensif. Pemerintah dianggap perlu mengamandemen UU Tindak Pidana Terorisme No. 15 Tahun 2003, terutama tentang kriminalisasi atau perluasan obyek hukum dan perbaikan mekanisme hukum acara, agar lebih mampu menggulung jaringan teroris sebelum beraksi.
Sebagaimana diketahui, BNPT lahir melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 yang ditandatangani Presiden SBY pada tanggal 16 Juli 2010 di Jakarta. Meskipun undang-undang yang berkaitan dengan aspek keamanan belum diundangkan, karena RUU Intelijen baru masuk program legislasi nasional DPR tahun 2010, dengan peraturan Presiden ini bisa dianggap cukup sebagai payung hukum dalam proyek kontra-terorisme.
Keempat: media juga turut memainkan perannya untuk menanamkan opini kepada publik bahwa pelaku terorisme adalah kaum Muslim. Salah satunya tampak dari pemberitaan Detik.com dengan judul, “Penggerebekan Teroris di Bandung, Ditemukan Lembaran Kertas Arab Gundul Soal Hijrah dan Jihad” . Detik.com (8/8) melaporkan dalam mobil milik Fahri, yang ditangkap Densus 88 karena diduga teroris, ditemukan ceceran kertas berisi tulisan Arab gundul, antara lain kumpulan fatwa Ibnu Taimiyah tentang jihad, hijrah dan dakwah. Tentu saja pemberitaan seperti ini sangat tendensius dan dapat menimbulkan citra negatif terhadap syariah Islam.
Selama ini pemberitaan tentang terorisme lebih banyak datang dari Polri secara sepihak. Keterkaitan aksi terorisme dengan perampokan yang dianggap sebagai harta fa’i juga datang sepihak dari Polri, meskipun katanya berdasarkan keterangan pelaku yang ditangkap. Stasiun TVOne termasuk yang terdepan dalam memberitakan kasus terorisme seraya mengaitkannya dengan Islam dan kaum Muslim. Mereka biasanya mendatangkan para narasumber yang selama ini memang concern menuding Islam radikal berada di balik aksi-aksi terorisme. Terkait hal ini tentu tidak bisa dipungkiri kedekatan hubungan Gories Mere dengan Karni Ilyas di TVOne. Gories Mere adalah pengendali satgas anti teror di luar struktur, di samping tugasnya di BNN (Badan Narkotika Nasional).
Kelima: kriminalisasi terhadap syariah dan Khilafah juga gencar dipropagandakan oleh para pemimpin negara-negara Barat, khususnya Amerika dan Inggris. Baru-baru ini sebuah panel ahli keamanan nasional Amerika Serikat mendesak pemerintah Obama untuk meninggalkan sikapnya bahwa Islam tidak terkait dengan terorisme dan menyatakan bahwa Muslim radikal menggunakan hukum Islam untuk menumbangkan Amerika Serikat (The Washington Times ,14/09/2010).
Pada 14/5/2010 lalu, mantan kepala staf Angkatan Darat Inggris, Jenderal Richard Dannat, dalam BBC’s Today Program, dengan sangat gamblang menyatakan bahwa perang di Afganistan adalah perang melawan Islam. Ketika ia ditanya tentang alasan pendudukan di Afganistan, dengan tegas ia menyatakan bahwa hal itu untuk mencegah agenda Islamis yang ingin menegakkan Khilafah Islam abad ke 14 dan 15, yang sekarang bergerak tumbuh dari Asia Selatan, Timur Tengah hingga Afrika Utara.
Sebelumnya, dalam wawancaranya dengan Radio BBC (05/01/2010), Perdana Menteri Inggris Gordon Brown menyerukan peningkatan intervensi Barat di Yaman. Ia menyerang tuntutan dunia Islam akan Khilafah sebagai ideologi pembunuh dan menganggapnya sebagai penyimpangan terhadap Islam.
Lalu pada Juli 2007, Menteri Pertahanan Inggris saat itu, Lord Wist, ketika menceritakan para pelaku yang berusaha meledakkan mobil di London, ia menyatakan, “Mereka adalah kaum rasis dan puritan. Mereka sedang mencari kekuatan. Mereka adalah orang-orang yang gila harta dan selalu berbicara tentang Khilafah.”
Mantan PM Inggris Tony Blair, di hadapan Konggres Partai Buruh, pernah menyatakan bahwa Islam adalah ideologi iblis (BBC News, 16/7/2005). Ia menjelaskan bahwa ciri-ciri ideologi iblis itu adalah ingin mengeliminasi Israel, menjadikan syariah Islam sebagai sumber hukum, menegakkan Khilafah serta menentang nilai-nilai liberal.
Perlu dipahami bahwa tegaknya Negara Islam, apalagi dalam wujud Negara Islam global Khilafah Islamiyah, sebenarnya sangat ditakuti oleh Barat. Sebab, tegaknya Khilafah akan menghentikan hegemoni Kapitalisme Barat yang telah terbukti gagal memberikan kesejahteraan dan keamanan bagi dunia. Karena itu, tuntutan pelaksanaan syariah Islam secara kaaffah dalam format institusi Khilafah Islamiyah harus dapat dibaca sebagai wujud kepedulian terhadap problema dunia baik ekonomi, sosial, militer, hukum maupun politik yang mengalami krisis dan karut-marut akibat penerapan sistem Kapitalisme global.
Penegakan Khilafah Tanpa Teror
Mayoritas kaum Muslim tentu memiliki pemahaman yang sama, bahwa aksi terorisme yang merusak dan membunuh manusia tanpa hak, apalagi disertai dengan perampokan, merupakan kejahatan besar yang diharamkan oleh Islam.
Sebagaimana diketahui, thariqah (metode) Rasulullah saw. dalam upayanya menegakkan syariah dan Daulah Islamiyah dilakukan melalui proses perang pemikiran, bukan perang senjata. Hal ini tampak dalam aktivitas dakwah beliau pada Periode Makkah yang sama sekali tidak menggunakan kekerasan. Bahkan aksi jihad berupa perang baru dilakukan oleh Rasulullah saw. setelah berdirinya Daulah Islam di Madinah. Karena itu, jika seseorang memiliki pemahaman bahwa kondisi saat ini sama dengan kondisi Makkah maka thariqah dakwah Rasulullah saw. yang tidak pernah menggunakan aksi-aksi kekerasan inilah yang harus diteladani.
Karena itu pula, jika ada pihak yang melakukan aksi terorisme apalagi disertai perampokan untuk mendirikan Negara Islam maka harus dipertanyakan. Mungkin mereka tidak memahami tentang metode penegakan Negara Islam (baca: Khilafah) yang tidak boleh menggunakan aksi kekerasan apalagi kriminalitas. Namun, tidak tertutup kemungkinan pula, bahwa mereka dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin menjelek-jelekkan syariah dan Khilafah. Pengamat intelijen Wawan Purwanto dalam bukunya yang berjudul ’Terorisme Undercover’ (CMB, 2007) membeberkan bahwa Noordin M Top dan Dr. Azhari hanyalah pelaku lapangan yang dibayar. Pakar intelijen AC Manullang yang juga mantan Direktur Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) berpendapat bahwa Noordin M Top hanya dipakai kekuatan asing untuk menjelek-jelekkan Islam (Tempointeraktif.com, 09/8/2009).
Patut pula diperhatikan bahwa propaganda perang melawan terorisme (the war on terrorism) yang diusung AS dan sekutunya pada dasarnya perang melawan Islam dan kaum Muslim. Propaganda tersebut menjadi salah satu alat untuk mempertahankan imperialismenya di Dunia Islam yang memiliki potensi strategis. Pasca keruntuhan Uni Soviet dengan ideologi Komunismenya, hanya Islam yang dianggap menduduki posisi sebagai ancaman paling potensial terhadap keberlangsungan ideologi Kapitalisme global.
Indonesia merupakan salah satu negeri Dunia Islam yang memiliki banyak nilai strategis bagi peneguhan ideologi Kapitalisme. Posisi geopolitik Indonesia dapat menjadi basis strategis bagi kepentingan Kapitalis Barat di Dunia Islam dan kawasan Asia Pasifik. Negeri yang memiliki jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia ini juga memiliki potensi untuk menjadi pusat Negara Islam global Khilafah Islamiyah. Karena itu, analisis terhadap aksi-aksi terorisme di Indonesia yang tidak mengaitkannya dengan agenda imperialisme global AS ’the war on terrorism’ hanya akan menghasilkan analisis dangkal yang out of context dan menyesatkan.
Wallahu a’lam bi ash-shawab. [Dr. M. Kusman Sadik]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar